Karin telah membaca tuntas buku harian sang kekasih. Dan ia tak akan bisa menahan air matanya tumpah. Tapi memang benar, pertanyaannya terjawab sudah. Buku itu tak pernah diceritakan oleh Gilbert karena ini dimaksudkan untuk mengenang selama perjalanan mereka di Jerman. Bahkan, di lembar paling awal sudah dituliskan:
Aku tulis buku ini sebagai mahar perkawinan kita kelak. Semoga bukan suatu yang berlebihan. Liebe, ini untuk mengenang perjalanan kita selama di sini.
Semoga kita akan mengenangnya selalu....
Sekarang ia kembali mengingat sosok Garin. Bukan saat ia menemuinya di taman siang tadi, tapi jauh hari, lima belas tahun lalu. Betapa kontras sosok itu dengan yang ditemuinya di taman tadi. Meskipun ia tahu, waktu dapat merubah seseorang, apalagi selama belasan tahun, tapi nyatanya ia masih heran juga.
“Garin, kamu mencintaiku….” gumamnya. Akhirnya, ia mengingat juga pertemuan di taman kota siang tadi. “Unik benar kehidupan ini.”
Karin menyeka air mata yang masih menetes di pipinya.
Sekarang ia mulai bimbang tentang keinginannya untuk bertekad membesarkan putrinya sendirian.
Mengapa mesti sendirian? hati kecilnya berbisik.
Iya, mengapa harus sendirian kalau bisa berdua?
Bukankah Gilbert tak hendak marah dan telah ikhlas seperti yang ia tulis di buku itu?
Karin tak tahu apakah bisikan-bisikan itu suatu godaan atau justru sebaliknya, semacam saran dan nasihat-nasihat.
Mia menginginkannya, bisikan itu menggema lagi di hatinya.
Tapi Karin memegang teguh prinsipnya soal cinta. Ia tidak setuju dengan pendapat ibunya kalau cinta itu beradaptasi, sedangkan ia tak mungkin menikah tanpa cinta.
Apakah aku memiliki cinta terhadap Garin? tanyanya dalam hati.
Sekarang ia benar-benar berada dalam posisi yang sulit. Kalau Mia menginginkan, sedangkan dia tidak, bagaimana? Ia tidak ingin ada yang harus dikorbankan, apalagi itu adalah anaknya.
Tapi apa mungkin aku hidup bersama orang yang tidak aku cintai? Bagaimana membangun sebuah komposisi musik kalau nada-nadanya sama sekali tidak harmoni? Seperti apa jadinya?
Dan kalimat ibunya, kembali mengiang, “Cinta itu beradaptasi, Karin.”
Tapi bagaimana kalau cinta itu tak bisa beradaptasi, sedangkan aku sudah telanjur dalam sebuah ikatan? Bagaimana mungkin berlayar di tengah samudera, sementara bahtera tak kunjung berjalan karena penumpang dan nakhoda tak bersepakat untuk menentukan jalan?
“Oh, mana mungkin penumpang ikut menentukan arah?”