Demikianlah. Seperti yang sudah dijanjikan, Karin menghubungi Garin melalui ponselnya dan menyuruh lelaki itu untuk datang hari ini, setelah anaknya pulang. Dan saat Karin menjemput Mia, Vivace sudah ada di sana. Mia telah menceritakan pertemuan mamanya dengan Om Garin di taman kemarin. Karin mengajak serta Vivace karena seperti biasanya, ia akan berlatih musik bersama putrinya.
“Sambil menunggu Om Garin datang,” begitu kata Karin.
Dan bel berdenting nyaris tak terdengar karena di dalam rumah sedang terdengar sebuah sonata.
Karin tidak tahu kenapa hatinya tadi begitu resah menunggu kedatangan Garin. Dan sekarang, jantungnya berdebar kencang mendengar suara bel rumahnya sendiri. Bergegas ia menuju pintu. Dan sebelum membukakan pintu, Karin dapat melihat dari kaca jendela, lelaki itu tampak seperti yang ia lihat di bawah pohon angsana: memakai flat cap berwarna kelabu, kaus lengan panjang, dan celana jeans; Karin tidak tahu pasti, apa warna kaus dan celana itu.
Kali ini ia membawa kotak yang berbeda, bukan kotak biola. Tapi Karin tahu, itu kotak flute.
Dan dibukanya pintu itu.
Keduanya saling bersitatap dan berbagi senyum. Dan ajaib, mata biru dan senyum itu, seperti pernah diakrabinya. Itulah tatapan mata dan senyum sang kekasih.
“Silakan masuk,” suara Karin begitu lirih, seperti tertahan.
Lelaki itu masuk dan Karin mohon permisi sebentar untuk memanggil kedua bocah itu.
Sonata yang tadi manis terdengar kini berhenti. Hanya menyisakan gema di setiap telinga yang mendengar. Kemudian, ketiganya setengah bergegas menuju ruang tamu. Ketika sampai, suara yang pertama keluar justru dari mulut Vivace.
“Abang Violin?!” anak itu setengah memekik.
Lelaki itu hanya tersenyum kecil dan suaranya datar saja terdengar. “Aku tahu kamu ada di sini.”
Karin dan Mia mengulang nama yang disebutkan Vivace tadi. Siapakah Abang Violin?
Lelaki itu tampaknya tanggap situasi. Maka ia segera menjelaskan kalau dirinya telah menyuruh Vivace agar memanggilnya Abang Violin.
Jadi, nama Abang itu sebenarnya Garin? Abang Garin? Vivace heran dan bertanya-tanya sendiri dalam hati. Apakah ini hanyalah kebetulan saja?
“Ya, begitulah.”
“Abang, om-nya Mia?” Tadi di Sekolah Luar Biasa, Mia menceritakan kalau omnya akan datang.
“Untuk apa memakai nama samaran? Supaya tampak misterius?” sekarang Karin yang membuka suara. Pertanyaan itu terdengar ketus.
Tapi lelaki itu hanya tersenyum. Ia merasa tidak perlu menanggapi omongan Karin. Tak ada yang istimewa dengan panggilan Vivace terhadapnya. Dan seolah menjadi misterius sama sekali tak terlintas dalam pikirannya ketika ia melakukan itu semua. Lagi pula, ia merasa tidak enak kalau Mia akan tahu ia bertengkar dengan Karin menanggapi kesinisannya.
Maka, tanpa memedulikan kata-kata Karin tadi, Garin menyapa Mia.