Selepas senja, Karin merenungi apa yang ia alami sejak bertemu Garin beberapa hari lalu. Tentu saja kejadian siang tadi. Ia membayangkan, betapa Mia gembira saat bersama Garin tadi. Lantas, apa salahnya kalau dia menjadi papa Mia? bisikan itu menggema di relung hatinya.
Dan ingatlah ia akan ucapan lelaki itu saat bertemu di taman kota.
Mia membutuhkan seorang ayah.
Ya. Karin memang harus mengakui hal itu. Kalau memikirkannya, ia sebenarnya merasa kasihan pada anaknya. Sejak lahir belum pernah merasakan kasih sayang seorang papa. Mia pasti sering membayangkan seperti apa rasanya dibelai, digendong, dimanja, dan bermain dengan seorang papa.
Dan itu telah lama dirindukan putrinya.
Tadi Karin dapat melihat kebahagian itu di wajah putrinya, juga kesedihannya saat Garin pergi.
Kalau Mia menginginkannya, kenapa mesti risau? Bukankah itu kebahagiaan dia? kembali bisikan itu menggema di hatinya. Dan pada saat bersamaan, ponselnya berdering. Sonata pada Sinar Bulan.
Aku akan datang dan selalu datang. Tapi bukan sebagai adik dari kakakku. Aku akan datang sebagai ayah Mia.
Betapa indah sebenarnya kalimat itu kalau saja ia merindukan Garin, tapi ia benar-benar belum siap sepenuhnya dengan semua ini. Atau tepatnya, ia tidak tahu, apakah akan menerima lelaki itu atau tidak.
Haruskah aku menerimanya demi kebahagiaan Mia? Jika ya, itu berarti keputusan yang telah diambilnya—yang ia ucapkan di hadapan ibunya—batal?
Tapi apakah itu sebuah persoalan?
Kalau tidak dan anggaplah begitu, sekarang tinggal menyisakan satu pertanyaan: apakah aku mencintai Garin? Benar, dia adik Gilbert, tapi dia bukan Gilbert.
Dan senyum dan tatapan matanya, bukankah itu milik sang kekasih? Atau dia malaikat yang dikirimkan Tuhan untukmu?