Resep Cinta Dalam Doa

EdpDian
Chapter #4

Perdebatan Fariz dan Mama

Fariz Ziddan Kamran

CEO and Founder

Papan nama dengan ukiran tajam dan besar-besar mempertegas seberapa besar kedudukan seseorang yang menjabat. Benda persegi itu berdiri kokoh di atas meja, permukaannya akan berkilat-kilat ketika tersorot cahaya terang.

Fariz menghela napas berulang, keningnya berkerut, tangannya masih dengan gencarnya memijat pelipisnya yang sejak pagi tadi berdenyut nyeri.

Tapi ini bukan soal pekerjaan dan kedudukan yang dia emban. Fariz memang sedang bekerja. Duduk lunglai dengan balutan pakaian kerja lengkap, celana bahan, kemeja lengan panjang yang lengannya dilipat sampai siku. Dasi yang mengendur dan jas yang tergantung di sudut ruangan.

Pikirannya menerawang pada kejadian beberapa jam silam. Masa bodo dengan setumpuk berkas yang seolah berteriak memanggil, dia sedang "galau" sekarang. Tidak nafsu makan, tidak ingin apa-apa. 12 jam dia hanya diam merenung tanpa ada pencerahan. Mentok, buntu.

Mama

Tolong Ariz pikirkan baik-baik permintaan Papa

Satu pesan masuk di ponselnya, lagi-lagi Fariz hanya mampu menghela napas berat-dia seperti diteror oleh kedua orang tuanya. Menyebalkan sekali.

Pukul dua dini hari. Itu yang terlihat di layar ponselnya. Fariz baru sadar jika sudah sejauh ini dia membuang-buang waktu berharganya.

Dia mendengus, mengusap rambut yang sedikit panjang, karena belum sempat cukur dengan kasar lalu mendongakan. Oke, dia benar-benar butuh tidur dan mandi sekarang. Tanpa membuang waktu lebih lama Fariz bangkit menyambar segala macam keperluan nya dan berjalan gontai—balik ke rumah.

Butuh 30 menit, sampai akhirnya dia sampai di kediaman kedua orang tuanya. Pria berumur 36 tahun itu memang masih tinggal bersama kedua orang tuanya. Bukan karena ia tidak memiliki tempat tinggal lain, melainkan karena Lina—ibu tercintanya yang tak pernah ikhlas melepaskan putra gila kerjanya dari jangkauan matanya.

Lina tahu betul tabiat Fariz yang satu itu, tidak bisa diragukan lagi. Bisa-bisa putra semata wayangnya itu akan berbeda alam jika tanpa pengawasan atau ada yang merawat.

"Baru pulang?" suara lembut namun tegas menghentikan langkah Fariz yang baru saja ingin meniti anak tangga pertama, balik kanan Fariz menoleh ke sumber suara. Melihat Lina yang tengah bersedekap di depan pintu kamarnya masih mengenakan mukena berwarna biru tua.

"Sampai kapan kamu mau gini terus hem?" tanya Lina lagi.

Fariz menghela napas panjang, memejamkan kedua matanya erat dan membukanya lagi setelahnya. "Kenapa? Capek, atau ngantuk?" cecar Lina. Fariz tak minat menjawab.

"Kamu memang pingin Mamamu ini cepat mati kok Fariz."

"Ma—" baru saja ia ingin membantah, Lina lebih dulu memotongnya.

"Kenapa? Keberatan? Mau kamu duluan atau Mama duluan yang mati? Kamu pikir kamu bakal terus sehat dengan pola hidup kacau kayak gini?"

"Mama kok ngomongnya gitu sih?"

Lina terkekeh sinis. Membuang pandangannya sekilas sebelum akhirnya menatap Fariz nyalang lagi. "Lah gimana? Kalau bukan kamu yang mati duluan berarti Mama kan? Apa Mama salah? Mama mati karena tiap hari harus mikirin tingkahmu itu. Kamu mati karena pola hidupmu berantakan. Mama pusing mikirin kamu itu, Ariz ... Ariz ...."

"MA STOP MA!" Cela Fariz sedikit meninggi. "Ariz tu capek Ma, butuh tidur, mandi. Tolong kasih Ariz waktu itu kali ini aja. Ini juga hampir pa—"

"Hampir pagi? Iya?" Lina menyela. "Itu kamu tau, kenapa baru pulang? Bosan hidup atau bosan lihat Mama kamu?"

"MA—"

Semakin Fariz meninggikan suaranya, semakin Lina juga tak terbantahkan. Ia justru menarik keningnya-bertanya tanpa kata.

Lihat selengkapnya