Ada udang di balik batu.
Baiknya Lina kemarin memang ada maunya.
Hari senin, pukul dua siang. Masih jam kerja, kantor bahkan sedang sibuk-sibuknya sekarang. Tapi Fariz sudah memarkirkan mobilnya di halaman rumah. Dapat pesan dari Lina tadi. Katanya, "pulang sekarang Nak. Ada masalah genting, penting banget. Ini perkara hidup dan mati. Mama tunggu Ariz di rumah." Tergopoh-gopoh Fariz keluar ruangan, meninggalkan setumpuk berkas yang menanti. Hingga mengabaikan Tian dan Tiara yang berulang kali memanggil namanya.
Masa bodo, ini perkara hidup dan mati.
Dan benar, sesampainya dia di rumah sudah disambut dengan sosok Lina yang berdiri menjuntai di depan pintu. Merentangkan tangan lebar-lebar, menyambut putranya yang jalan tersenggal-senggal. "Akhirnya kamu pulang juga nak," ujar Lina di tengah-tengah dekapan itu.
"Kenapa Ma ... Papa mana?" tanya Fariz panik. Pelukan mereka terlepas. Otomatis nentra Fariz memindai, mengamati penampilan Lina dari ujung kepala hingga ujung kaki. Gamis, wangi semerbak, bibir merah merona, pipi kepiting rebus—ulah blush on. Fariz memicingkan mata, keningnya berkerut. "Mama mau kemana? Kondangan? Sepupu Ariz ada yang mau nikah dadakan? Siapa yang mau meninggal Ma? Apa hamil di luar nikah?"
Loh ... loh ... kok.
Lina melotot lebar, reflek menepuk lengan Fariz kencang. POK! "CANGKEMU—" (mulutmu). Ditambah cubitan di perut, kencang sekali sampai tubuh Fariz memancing ke atas. "Au ... sakit Ma."
"Kalau ngomong—" Lina tidak jadi bicara. Sedangkan Fariz sudah sibuk mengusap-usap perutnya yang bekas cubitan Lina. "Masih ingat gak kamu kalau punya janji sama Mama?"
"Janji apa?"
"Soal Mama yang mau cariin kamu calon istri."
Fariz diam sejenak, lalu mengangguk.
"Masih ingat kan janjimu mau nurut sama Mama?" Fariz mengangguk lagi. Dia selalu menurut asal bukan soal istirahat kerja dan soal menikah—Fariz terbelalak, dia menatap Lina intens. Jangan-jangan.