Mereka datang 30 menit lebih cepat dari waktu yang dijanjikan. Kepergian Fariz menjadi penyebabnya. Tapi Bian sudah mengabari calon besan dan syukurnya mereka siap menerima.
Pukul enam lewat tiga puluh menit keluarga besar Fariz. Si calon pengantin, Bian, Lina, Pakde dan Bude dengan satu mobil Avanza berisi buah tangan sampai di kediaman Kaira. Si tuan rumah, Albi dan Silfi sendiri yang menyambut.
Ramah tamah singkat diikuti singgung menyinggung hingga akhirnya sampai di puncak acara.
Ya seperti pada umumnya, semula si calon mempelai wanita di dalam kamarnya. Lalu dipanggil, mereka dipertemukan. Fariz mematung, tanpa berkedip dia menatap sosok anggun yang kini dipapah sepupunya mendekat ke arahnya. "Cantik kan pilihan Mama—" bisik Lina di telinga kanan Fariz.
"Kalau Papa sih ini gak bakal nolak. Papa nikahin langsung." Bian di telinga Kiri.
Eh, spontan Fariz menoleh. Menatap Bian nyalang. Yang ditatap hanya angkat bahu sekali.
"Emm ... maaf Abi, kalau seandainya hari ini tidak jadi lamaran bagaimana?" celetuk Fariz tiba-tiba. Semua pandangan tertuju padanya. Lina sudah menatap nyalang—siap menerkam putranya hidup-hidup.
Kaira yang sudah berlutut ingin duduk terhenti, dia menatap Fariz. Sama halnya dengan Fariz yang menatapnya.
Mereka berkumpul di ruang keluarga rumah Kaira, yang pernak perniknya sebagian sudah disingkirkan. Duduk lesehan beralaskan ambal tebal—memutar. Banyak hidangan makanan ringan di tengah-tengah mereka.
"Maksud nak Fariz bagaimana? Nak Fariz tidak suka dengan putri Abi?" Albi bertanya, nada suaranya memang terdengar tenang—setenang air. Tapi tatapan tajamnya seolah menuntut penjelasan. Tak gentar Fariz balik menatap Albi. "Saya ingin menikahi putri sampeyan langsung. Apa boleh?"
KRIK! KRIK! KRIK!
Andai ini di desa tempat nenek Kaira tinggal pasti sudah terdengar suara jangkrik malam yang suaranya nyaring sekali—saking heningnya.
Silfi dan Bian kompak melongo, Albi dan Silfi mematung. Kaira lemas langsung duduk, dengan sigap sepupunya menahan tubuhnya agar tidak limbung ke belakang.
"Wooo ... sabar Le. Nganggo rem mbarang to. Ojo main trabas-trabas." (Woo ... sabar nak. Pakai rem juga to. Jangan terobos-terobos)
Fariz menoleh, dia menatap si yang berbicara. Itu pakdenya Kaira. Namanya Pakde Wiro, dia juga yang menyambut kedatangannya dan keluarga tadi. Orangnya memang lucu dan tidak ada takutnya.
"Mama setuju, jika memang ustad Albi tidak keberatan dan nak Kaira juga bersedia saya setuju. Lebih cepat lebih baik, kita juga tidak tau umur kan?"
"Nak Fariz yakin tidak ingin lebih kenal dulu dengan Kaira? Setidaknya tanya-tanya? Tidak terlalu buru-buru?" Albi bertanya.