Dua hari menikah, dua hari itu tidak ada angin kabar yang sampai di telinga keduanya. Sibuk masing-masing. Kaira juga langsung masuk kerja, terbahak-bahak dengan rekan kerjanya sampai lupa jika jika dia sudah menikah dan pernikannya terasa janggal.
Pulang kerja. Eh, Kaira justru dikejutkan dengan seonggok daging yang tergeletak di atas tempat tidurnya. Pakai pakaian kerja, lengkap dengan sepatu. Dasi yang menjuntai sampai menyentuh lantai dan rambut yang berantakan.
Dia Fariz—suami Kaira, yang sedang tertidur dengan satu lengan diletakkan di atas wajah—menghalau cahaya lampu.
Lambat-lambat Kaira berjalan mendekat, dia ulurkan tangannya. Niatnya ingin melepaskan sepatu Fariz. Tapi baru sentuh saja si empunya sudah terjingkat dan bangkit—duduk. Kaira yang juga kaget tejengkang hingga pantan mencium lantai. Sakit sekali.
Fariz linglung karena bangun tidur. Kaira masih berusaha mengontrol napas dan detak jantung.
Dua menit mereka saling adu diam.
"MAAF—" ujar keduanya kompak.
Kaira buru-buru bangkit berdiri. Fariz juga merubah posisi duduknya jadi kakinya menyentuh lantai—duduk di pinggiran ranjang.
"Maaf Ara ngagetin Mas tadi. Niatnya mau lepasin sepatu Mas Ariz. Gak taunya Mas Ariz tipe orang yang mudah terjaga dengan sentuhan."
Fariz justru menatap Kaira yang sedang menatapnya. Dia tidak menjawab.
"Mas datang jam berapa?"