Kaira yang tenang bahkan terkesan "happy" semua masalah dia bawa layaknya angin, ikuti saja kemanapun ia ingin pergi. Beda cerita dengan Fariz yang ternyata "menyesal" dia merasa salah perhitungan kali ini.
Hanya karena pesona Kaira dan tekanan dari Lina membuatnya tidak berpikir panjang. Tidak memungkiri jika dia terjerat akan pesona ayu istrinya. Kaira cantik demi Tuhan, anggun dan punya daya pikat tersendiri. Bodynya mungkin memang tidak seperti para mantan pacarnya—Fariz tidak tahu karena belum mencoba.
Hei, tubuh istrinya itu selalu dilapisi baju kebesaran tidak seperti mantan pacarnya atau wanita kebanyakan di kantornya yang ketat sana sini—mudah dipandang tanpa harus dicoba. Kaira, istrinya kalau tidak dicoba mana dia tahu.
Tiga hari dia mengubah status, tiga hari pula dia gelisah dan merutuki kebodohannya.
Seharusnya kemarin dia meminta waktu alih-alih menikahi langsung. Benar Lina mendesak, tapi bukankah Lina juga tidak memaksa, seharusnya dia bisa menolak dengan alibi tidak tertarik. Menolak dan menolak sampai Lina jengah sendiri.
Tapi Kaira ... ah, Fariz mengusap rambutnya kasar. Gadis itu terlalu disayangkan jika dilewatkan. Fariz tidak ingin munafik.
TING! DRET-DRET!
Malas-malasan Fariz melirik ponsel yang tergeletak diatas meja tepat di hadapannya. Otomatis napas lelah itu terdenger darinya.
Itu Lina, dengan segala terornya—lagi. Ini pesan ke 20 seharian ini setelah teror Lina kemarin yang meminta Fariz kembali dari Ibu kota dan menjemput istrinya di rumah mertuanya.
Mama
Jangan kamu kira nikah jadi seenak jidat kamu sendiri Tuan Muda Kamran.
Pulang sekarang atau mama tarik telingamu.
Lagi, ada pesan masuk lagi setelah sepuluh menit Fariz tidak menjawab.
Mama
Mama tau kamu sudah baca. Mama juga yakin matamu belum rabun berat.