"MAS ... MAS ARIZ ... TOLONG!" DOR! DOR! DOR!
Kaira terus dan terus memukul daun pintu kamar utama kencang-kencang. Berteriak memanggil nama suaminya hingga semakin lama suaranya semakin melemah. Tapi yang dipanggil justru tidak merespon, tidak ada sahutan dari dalam sana.
"Mas Ariz ..." ujar Kaira lagi, kali ini suaranya nyaris tak terdengar. Kaira kehabisan tenaga, pukulannya pada daun pintu juga melemah.
"Mas tolong ..." kata Kaira putus asa, tubuhnya limbung dan dia duduk bersimpuh di lantai, menghadap daun pintu yang masih tertutup rapat.
Dua menit menunggu pintu baru dibuka dari dalam. CEKLEK! Disusul sosok Fariz dengan handuk yang hanya menutupi tubuh bagian bawahnya, rambutnya yang masih basah membuat airnya menetes hingga mengenai puncak kepala Kaira yang tertutup kerudung.
Fariz menunduk dan terbelalak mendapati keadaan Kairan yang mengenaskan. Buru-buru dia ikut berjongkok, menopang tubuh Kaira yang sudah lemah dan derai air mata yang terus menetes. Faris usap air mata itu lalu dia bingkai wajah Kaira dengan tangan besarnya.
"Hei, kamu kenapa Kaira?"
Kaira sesegukan, dia mendongak menatap wajah Fariz yang terlihat khawatir. "Nenek Mas ... Nenek—" lalu menangis lagi.
"Nenek kenapa? Tenang dulu oke?"
Kaira mengangguk. Dia menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan. Berulang kali hingga dirasa cukup menguasai diri.
"Mas Ara boleh pinjam mobilnya? Mobil Ara di bengkel."
Fariz menyerngit—bingung.
"Kalau gak boleh bisa minta tolong pinjemin mobilnya Papa? Ara minta tolong Mas." Ujarnya sambil memanyunkan bibir. Hei, ini masalah genting—tapi entah kenapa Fariz justru ingin menggigit bibir yang meruncing milik istrinya itu.
"Ara janji gak akan ganggu Mas tidur lagi kalau mas bantuin Ara. Tolong Mas."
"Kamu mau kemana?"
"Ke Ambarawa Mas, mau ke rumah nenek, Nenek—" Kaira menangis lagi, ucapanya terpotong dengan tangis. Fariz melotot, buru-buru mengusap air mata Kaira lagi. Dia tidak suka melihat wanita menangis.
"Nenek meninggal Mas. Ara harus kesana sekarang. Kaira pinjem mobil Mas Ariz ya? Ara janji gak bakal rusakin, Ara—"
"SUT!" Fariz mengusap pipi Kaira penuh sayang—berniat menenangkan. "Ummi yang telpon tadi?"