Fariz yang dasarnya sudah pendiam, semakin pendiam bahkan tak tersentuh meninggalnya Lina. Komunikasinya dengan Kaira semakin hari semakin buruk, jarang bertemu karena Fariz semakin jarang pulang. Gila kerjanya sampai mencapai level kronis.
Pernah sekali Fariz pulang ke rumah. Hari minggu jam empat sore. Datang-datang langsung masuk kamar. Kaira yang sedang belajar memasak-masak sop iga, sampai berulang kali mengusap mata-memastikan penglihatan nya. Niatnya mau dia kirim ke rumah mertuanya juga.
Bian sudah balik dari rumah sakit setelah satu minggu dirawat. Selama itu Kaira hilir mudik siang ke rumah sakit menjaga Bian, malamnya tahlilan di rumah mertuanya. Begitu terus sampai dia ambil cuti satu minggu full.
Tiga hari jatah cuti kerabat dekat meninggal, empat harinya mengambil cuti tahunan Kaira yang tersisa. Semua demi suaminya yang justru tak pernah menganggapnya ada, melihat batang hidungnya saja selama seminggu itu tidak. Fariz layaknya hilang ditelan bangunan kantor.
"Mas bangun sebentar yuk! Salat magrib dulu, makan, habis itu tidur lagi gak papa." Kaira usap lengan Fariz yang tidur menyamping pelan-pelan, suaranya juga lembut mendayu-dayu. "Mas ..." panggil Kaira lagi.
Terakhir kali yang Kaira tahu, Fariz ini tipikal yang peka akan sentuhan. Disentuh sedikit saja langsung bangun. Namun ini usapan Kaira semakin gencar pun sekedar bergerak pria itu tidak melakukanya.
"Badan Mas juga agak panas loh ini. Ara siapin obat ya? Mas makan dulu nanti minum obat. Ara juga sudah masak kesukaan Mas, mas suka sop iga-" PLAK! AW! Reflek Kaira bangkit lalu mundur dua langkah, tanganya memegang pipinya yang memanas-Fariz menyakitinya. Pria itu menyibak tanganya-berniat melepaskan tangan Kaira dari lengannya. Tapi terlalu kencang hingga mengenai pipi istrinya.
"Bisa kamu biarkan saya tenang sehari saja? Saya muak mendengar ocehanmu. Urus saja dirimu sendiri."
Kaira terisak, suara Fariz keras sekali hingga menembus jantungnya. "Jangan lemah, saya tidak akan membentakmu jika kamu tidak kelewat batas. Jangan seperti dia yang merusak hidup saya, merenggut kebahagiaan saya. SANA PERGI!"
Tepat satu detik setelah Fariz mengatakannya Kaira balik kanan, dia lari tergopoh-gopoh keluar dari kamar mereka.
Bodohnya Kaira tidak ada jeranya, dia tahu hatinya sakit. Mentanya tercabik-cabik tapi dalam sedihnya dia masih mendoakan suaminya.
Dibalik pintu dia mendongakkan kepalanya, matanya terpejam dan berujar. "Ya Allah lindungi suami hamba, ketuk pintu hatinya dan maaf kan lah kesalahan nya." Selepas itu sembari memegang dadanya dia berusar lagi. "It's okay Kaira. Ada Allah, Kaira punya Allah yang maha segalanya. Ini yang terbaik menurut Allah buat jalan hidup Kaira ..."
Fariz keluar dari kamar setelah pukul sebelas malam. Tenggorokannya kering, air di teko yang biasa tersedia di kamar habis. Buka pintu justru langsung disuguhi pemandangan istrinya yang meringkuk di atas sofa ruang keluarga, tanpa selimut dan terus mengigau, "ummi ... ummi sakit." Itu yang keluar dari mulut Kaira.
Buru-buru Fariz berjalan mendekat, "hei Kaira. Bangun!" sambil mengguncang bahu Kaira cukup keras.