Pulang kerja Kaira menyempatkan diri datang ke rumah mertuanya. Kebetulan sekali bertepatan saat Bian sedang duduk santai di teras depan rumah, sembari makan buah segar dan menikmati lalu lalang anak-anak bermain sepeda dan skuter. Bian ditemani perawat profesional yang Fariz pekerjakan khusus untuk merawat dan menjaga ayahnya semasa sakit ini.
"Ners Roy gimana kondisi papa? susah gak minum obatnya?" datang-datang Kaira langsung menyerang. Suaranya ceria sekali, berbanding terbalik dengan suasana hatinya.
"Papa bukan anak kecil lagi Kaira." Jawab Bian membantah.
Kaira terkekeh, dia salami punggung tangan ayah mertuanya. Lalu duduk di kursi yang tersisa. Bian ditengah. "Papa gimana perasaan nya hari ini? Tanganya masih cekut-cekut rasanya?"
"Perasaan papa kamu sudah tau nak. Papa gak perlu jawab lagi, kalau tangan Papa aman. Luka-lukanya juga." Kaira melirik Ners Roy, yang ditatap membahas dan menganggukan kepala—tanda aman juga. "Abi sama Ummi mu tadi habis dari sini juga loh, pulang mau ashar tadi?"
"Lah Ara malah gak tau Pa, orang Ummi gak telpon-telpon dulu. Tau gitu Ara tetep dateng sekarang." Lalu dia terkekeh lagi.
"Sudah jadi anak Papa kamu berarti sekarang."
Kaira pura-pura sedih, dia kerucutkan bibirnya panjang-panjang. "Lah Ara kan memang putri Papa? Jadi selama ini Ara gak dianggap nih?" Ujar Kaira bermain peran, Bian juga demikian.
"Aduh biung, jadi sekarang salahnya jadi ke papa ni. Padahal Ustazah Silfi loh yang gak kabarin Ara tadi."
Kaira terkekeh. Dia manggut-manggut. Bian sudah kembali ke mode seriusnya lagi.
"Fariz gimana nak? Dia bersikap baik sama Ara kan? Gak nyakitin Ara kan?" runtun Bian bertanya.
Kaira sudah duga akan diserang begini. Papanya itu peka orangnya meski dulu pendiam. Sepeninggalan istrinya dia justru terlihat ceria dan banyak bicara terutama jika sedang bersama Kaira.