Resep Cinta Miri

Mozze Satrio
Chapter #1

Bab 1

Bila kamu sedang mencari restoran Italia terbaik di Jakarta, para ahli kuliner dan food vlogger tidak akan melewatkan Nero&Bianco yang terletak di Area Square Gatot Subroto. Menyandang satu bintang Michelin, Nero&Bianco menjadi tempat perhentian para kaum perlente yang menikmati kemewahan. Dari luar, tampilan gedungnya sederhana, tapi nuansa ruang dalamnya akan membawamu ke sisi romantis ala Milano. Dengan lampu sorot yang redup, taplak meja putih gading dan kursi-kursi kayu berkualitas, tidak cukup rasanya jika sebuah malam spesial bersama kekasih berakhir pada sebotol anggur merah.

Tapi, berbeda dengan kebanyakan pasangan di akhir pekan itu, Miri justru berhadapan dengan seekor–lebih tepatnya, seorang–serigala berbulu domba. Miri berusaha membuat tangannya stabil saat membawa seporsi tiramisu buatannya ke meja bulat nomor 8, di mana seorang wanita paruh baya sedang duduk menunggunya.

Ia menyibakkan rambut yang berminyak ke balik telinga, merapikan ujung baju kerja, mengangkat dagu hingga tegak lurus dari lantai. Di balik baju chefnya, dada Miri tak berhenti berdetak kencang. Semakin dekat langkahnya ke meja itu, semakin kencang dentuman jantungnya hingga ke telinga. Sang pelanggan tampak anggun dengan gaun satin berwarna hijau emerald, rambutnya disasak tinggi, dengan gincu merah yang seronok. Mata di balik kacamata berbentuk tanduk itu menatap Miri lurus, seakan dapat menembus hingga tulang belakang.

Miri menelan ludah, memutari meja untuk berdiri di sisi kanan sang pelanggan tua. Ia meletakkan piring di meja dengan hati-hati, tanpa meninggalkan bunyi. Sebelum melangkah mundur, Miri berkata, "Tiramisu. Selamat menikmati."

Setelah memperkenalkan hidangan pencuci mulut yang menjadi keahliannya, Miri tinggal di tepi meja dengan mulut mengatup. Wanita tua itu mengambil sendok dan mulai mengambil lapisan utuh tiramisu, melahapnya dalam satu suap. Ia mengeluarkan suara 'hmm' rendah, lalu mengambil satu sendok lagi. Setelah melahap tiga suap, wanita itu menepuk bibir merahnya dengan serbet.

"Miri," panggilnya. Pemilik suara yang berbicara lambat nan anggun itu menunjuk kursi kosong di hadapannya. "Duduk sini."

"Maaf, Tante, saya masih di jam kerja–"

"Duduk."

Tidak ada yang dapat membantah Amara Wibowo jika ia telah menuntut sesuatu. Miri menarik nafas, melangkah mendekat sebelum duduk di kursi. Lampu di atas kepala mereka membuat sosok Amara Wibowo, calon mertuanya, tampak lebih ganas. Di saat yang bersamaan, ia tak perlu menyembunyikan pamornya sebagai golongan elit yang dapat menundukkan siapapun–persis seperti serigala betina yang memiliki insting kuat untuk melindungi anak-anaknya.

Amara Wibowo mengeluarkan desahan panjang, membuat Miri menegakkan punggung.

"A, apa tiramisunya tidak enak?" tanya Miri, memberanikan diri.

"Oh? Ini?" Amara Wibowo menunjuk sajian manis di piring. "Enak, kok. Kamu yang buat?"

Lihat selengkapnya