Resep Cinta Miri

Mozze Satrio
Chapter #2

Bab 2

"Terus? Lu ambil amplopnya?" tanya Jihan sambil membuka bungkus Pocky rasa cokelat yang baru saja ia beli di vending machine. Ia duduk di kursi panjang, tepat saat pengatur waktu mesin pengering berbunyi. Sahabatnya, Miri, berjalan mendekat ke arah mesin. Ia melemparkannya keranjang laundry yang dibawanya ke lantai dengan kesal. Ia merenggut setiap pakaian di dalam tabung pengering, membayangkan wajah pongah Amara Wibowo yang sulit terhapus sejak semalam.

"Ya nggak lah! Gila kali!" teriak Miri, melempar setiap pakaian ke dalam keranjang. Setiap baju selaras dengan kemarahan yang tak terbendung, apalagi setelah ibu Baskara, tunangannya, terang-terangan menyuapnya di meja restoran. "Gue! Benci! Banget! Si Serigala Betina itu! Kenapa dia harus jadi calon mertua gue, sih?!"

Jihan mengangkat bahu, menggigit ujung cemilannya. Matanya terpaku pada kipas di langit-langit yang berputar perlahan dalam ritme teratur.

"Tapi," lanjut Jihan santai, "Lima puluh juta tuh bisa jadi modal awal buat lu buka toko kue, sih."

"Gue tahu, Jihan. Pikiran itu terlintas di kepala waktu gue megang amplop tebal itu. Gue juga bisa pakai uang itu buat pergi ke Italia," balas Miri.

Miri mengangkat tangan ke arah sahabatnya yang sibuk mengunyah, menyisakan jarak antara ibu jari dan telunjuk yang posisinya sejajar. "Tebal amplop itu lima senti, Jihan. Lima senti! Steak di tempat kerja kita aja nggak setebel itu!"

"Terus? Baskara udah tahu belum?" tanya Jihan.

Miri menggeleng. "Gue nggak tega mau cerita ke dia. Ini bukan pertama kalinya si Serigala Betina itu ngusik gue kayak gini. Dia emang nggak suka sama gue dari hari pertama kami jadian."

Sambil menata cucian bersih dengan lebih teratur dalam kantung laundry-nya, Miri tak dapat melupakan rasanya dipermalukan di restoran kemarin malam. Wanita congkak itu menyuapnya dengan sejumlah uang–yang sebenarnya Miri perlukan–dan meminta Miri untuk membatalkan pernikahan. Entah kabur ke kota lain, luar negeri, atau berselingkuh dengan orang lain, Amara Wibowo tidak peduli caranya. Ia hanya ingin Miri menghilang.

"Sampai kapan lu mau beradu sama ibunya Baskara, Mir? Rencana pernikahan kalian sebentar lagi, kan?" tanya Jihan, berdiri di samping meja yang Miri gunakan untuk merapikan bajunya.

"Masih setahun lagi, sih. Kami siapin pelan-pelan, sambil berharap ibunya bakal luluh," jawab Miri. "Tapi, gue nggak tahu gimana caranya melembutkan hati dia–kalau dia punya hati."

Usaha pertama Miri dan Baskara untuk melembutkan hati perempuan paruh baya itu dimulai beberapa bulan lalu. Baskara mengundang Miri untuk makan malam di rumahnya. Meski awalnya enggan, Miri terpaksa mengenakan gaun merk ternama berwarna pink pastel yang memeluk lekuk tubuhnya dengan anggun. Ia melakukan hal itu demi membuat Baskara bangga–dan tak malu membawa kekasih yang sesekali peduli pada penampilan.

"Kesan pertama itu penting, Sayang," ucap Baskara saat ia menemani Miri mencoba gaun itu di butik. "Kalau ibuku suka penampilanmu, aku yakin jalan kita bakal mulus."

"Kita kan mau makan malam, bukan mau meeting," protes Miri, memutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri. Jujur saja, Miri tak mengenali pantulan dirinya di cermin. Ia merasa konyol mengenakan gaun ketat secantik itu tanpa riasan wajah. Menyentuh permukaannya saja sudah terasa mahal. "Kalau gaun, aku juga punya kok yang pantas. Walau bukan dari merk mahal, gaun itu aku simpan untuk acara spesial. Seperti untuk ketemu orang tuamu, misalnya."

Lihat selengkapnya