Dalam kurun waktu 3 hari, kata-kata Kemal terbukti: bekerja untuk katering adalah neraka bagi para pekerja restoran. Sejak Miri tiba di gedung Arkate, ia tak dapat mengalihkan pandangan dari bahan-bahan masakan yang tertata di meja. Kepalanya tak berhenti memperhitungkan waktu dan berapa takaran yang perlu ia siapkan di setiap panci.
Tangannya selalu basah dan berbau tomat, ujung-ujung jarinya terasa panas dan menebal setiap kali memegang sendok pengaduk. Dalam fokus yang masih tersisa, Miri mencoba untuk tak memotong jarinya. Ia tak dapat berhenti bekerja, apalagi terluka.
“Porsi bolognese berikutnya sudah siap? Wadahnya hampir kosong!” seorang camiriere–pramusaji–berseru dari balik meja dapur.
“Miri, berapa lama sugo di pomodoro siap?” teriak Kepala Chef kepada bawahannya, yang sedang kalang kabut menyiapkan satu porsi baru saus tomat di salah satu kompor.
“Sepuluh detik, chef!” balas Miri, menaburkan bumbu untuk terakhir kali dalam wadah panas di depan wajahnya, lalu mengaduknya rata. Ia menarik napas, dan mengumumkan kepada anggota timnya ketika pekerjaan telah selesai. “Saus siap!”
Di sisi lain dapur, terdengar suara nyaring dari benda metal yang jatuh berhamburan ke lantai, membuat sebagian kepala menoleh.
“Maaf, chef!” seru si pelaku yang tidak sengaja menyenggol setumpuk wajan hingga jatuh.
“Fokus, semuanya! Pekerjaan kalian masih separuh berjalan! Malam masih panjang! Tarik napas dan selesaikan setiap porsi pekerjaan dengan penuh konsentrasi!” orasi Kepala Chef membahana ke seluruh penghujung ruangan.
Di sisi lain, terdengar panci yang berdesis saat pasta dimasak, sajian tiramisu dikeluarkan dari kulkas, dan para pramusaji berlalu lalang mengambil wadah besar yang telah diisi porsi baru pasta.
“Kalian masih sanggup?! Selesaikan pekerjaan yang kalian mulai!” seru sang pemimpin medan pertempuran.
“Si, va bene!” para koki serempak berseru, tak terkecuali Miri. Ia menyeka keringat yang tak henti mengalir di pelipis dan lehernya. Tangannya telah sakit karena terus memegang gagang panci yang panas, tapi ia tak boleh berhenti.
Di balik dinding dapur, para karyawan dan tamu perayaan hari jadi Arkate terus berdatangan. Seperti yang telah Kemal peringatkan sebelumnya, pengunjung yang datang ke gedung firma itu lebih dari perkiraan. Sejak ia tiba di dapur, Miri tak berhenti bergerak. Jika telah selesai mempersiapkan bahan, ia harus menakar bumbu lalu meletakkan panci besar di kompor. Meski telah selesai membuat satu porsi saus, ia harus mengerjakan langkah yang sama berulang kali.
Miri tak tahu berapa banyak kalori yang telah ia bakar dalam 2 jam terakhir, tapi rasanya tubuh itu siap remuk kapan saja. Setelah semua ini selesai, Miri harus mengatur waktu untuk berolahraga lagi. Malam pun masih panjang, dengan piring kotor terus bergantian dengan yang baru. Ia tak lagi dapat menghitung berapa banyak hidangan yang telah keluar masuk dapur.
Sebelum wadah makanan itu dihantarkan kepada para karyawan kantor, Miri pun tak dapat melupakan sosok Seno Narendra yang menyapa para tim koki di dapur.
Ia pernah melihat wujud pria paruh baya itu sebelumnya, dari foto yang pernah ditunjukkan oleh sang ibu. Kenyataannya, ia terlihat lebih tampan dari yang Miri kira. Malam itu, Seno Narendra mengenakan setelan jas berwarna biru tua tanpa dasi, dengan kemeja biru pucat. Rambutnya disisir rapi, dengan beberapa helai uban tipis di bagian depan.
Mata mereka sempat bertemu, tapi Miri segera memalingkan wajah. Ia tak ingin menjadi pusat perhatian karena mengenal pria mapan itu. Tugasnya malam ini adalah sebagai seorang chef yang memuaskan lidah para pelanggan, bukan calon anak tiri yang perlu bersikap baik di hadapan pasangan ibunya.
Bahkan mengucapkan ‘calon anak tiri’ terasa canggung di kepala Miri.
Melewati jam 10 malam, ketegangan di dapur mulai mereda. Kepala pramusaji mengumumkan bahwa sajian pasta dapat berhenti karena para pelanggan telah beralih menikmati hidangan penutup. Miri akhirnya dapat bernapas lega.
“Miri, nih minum dulu,” seorang rekan kokinya menawarkan sebotol minuman isotonik dingin, yang Miri sambut dengan riang. “Sukses malam ini!”
Mereka berbagi tos singkat, sebelum menenggak minuman dingin bersama-sama. Segarnya cairan dingin yang memenuhi kerongkongan seketika membangkitkan tubuh Miri yang hampir ambruk. Ia berhasil melewati malam ini dengan mulus, meskipun tak berperan besar dalam menyajikan hidangan penutup.