Gelapnya malam menjadi pahlawan alam menyelamatkan wajah memerah Miri. Bayang-bayang yang jatuh di antara mereka tak memberikan kesempatan bagi pria asing itu menangkap kegugupannya. Entah sudah berapa banyak yang ia dengar, tapi sudah tak mungkin menarik percakapan itu kembali. Miri ingin segera beranjak dari tempat itu, tapi pria itu memanggilnya kembali.
“Kamu chef yang masak malam ini?” tanyanya.
“I, iya,” jawab Miri, dengan gugup merapikan rambutnya yang basah dan berminyak, diikat berantakan di belakang kepala. “Tapi, saya cuma masak sebagian kecil–”
“Kamu handle bagian apa?”
“Saus.”
“Termasuk saus untuk bolognese dan arrabiata?”
“Iya. Itu semua saya yang kerjakan.”
“Oh,” ucapnya. “Enak banget makanannya, terutama sausnya. Nama restorannya… Nero&Bianco yang di Kebayoran Baru, kan?”
“Iya, betul.”
“Kapan-kapan saya main ke sana, deh. Kayaknya perlu coba menu yang lain,” sambungnya. Ia bangkit berdiri, tapi bergerak oleng ke kanan dan kiri. Pria itu meringis, lalu mengecek kakinya kembali.
“Maaf, Bapak kenapa?” Miri menangkap gelagat aneh pria itu yang sepertinya tidak nyaman dengan dirinya. “Kakinya sakit?”
“Iya, nih. Biasa, sepatu baru. Tadinya saya mau pakai sepatu lama, tapi kakak saya udah beli yang baru sebagai hadiah,” jawabnya. “Kamu punya plester luka, nggak?”
“Sebentar,” gumam Miri. Ia merogoh ke dalam saku seragamnya. Biasanya ia menyimpan satu kantung plester sebagai pertolongan awal jika ia atau rekan kerjanya terluka. Mulai dari teriris pisau, kapalan, hingga terkena pecahan piring yang jatuh ke lantai. Ia menemukan kantung kertas itu di saku belakang celana dan memberikannya pada pria itu. “Ini.”
Pria itu mengulurkan tangan. Miri meletakkan kantung plester itu di telapak tangannya yang terbuka. Ia melihat pria itu membuka kantung dan menemukan plester yang masih tersisa.
“Isinya tinggal dua. Boleh saya pakai dua-duanya?” tanyanya.
“Boleh,” Miri mengangguk.
“Makasih, ya,” jawabnya. Ia kembali duduk di undakan tangga, dengan cekatan membuka plester itu satu per satu. Bantalan pada plester itu menutupi lecet pada bagian belakang pergelangan kakinya.
“Sama-sama, Pak. Saya masuk ke dalam dulu, karena pekerjaan sudah beres–”
“Tunggu sebentar.”
Setelah selesai mengenakan sepatunya, pria itu berdiri dan berjalan ke arah Miri. Semakin ia dekat dengannya, semakin Miri menyadari betapa tinggi pria itu–setidaknya setinggi Baskara. Ia menyodorkan kantung plester yang telah kosong pada Miri.