“Mir, kamu nggak papa?”
Saat kembali ke dapur, pertanyaan yang dilemparkan seorang rekan kerja itu membantu benak Miri kembali ke dunia nyata. Dengan gelagapan, Miri buru-buru merapikan rambut dan seragamnya, membuat teman-temannya keheranan.
“Nggak papa,” jawab Miri, menarik senyum hambar. “Kenapa? Berantakan banget, ya?”
”Nggak juga sih. Tapi muka kamu merah.”
Miri meraba dahi dan sisi lehernya dengan punggung tangan. Mereka benar, badannya terasa lebih hangat dari biasanya.
“Kamu kecapekan mungkin,” timpal yang lain. “Udah makan belum?”
“Belum sih,” jawab Miri.
“Oh, pantes. Ya udah, makan dulu gih. Masih ada porsi carbonara di wajan. Habiskan sebelum kamu pulang, ya,” saran seorang chef senior sambil menunjuk wadah di tengah dapur.
“Baik, chef,” ucap Miri. Dalam diam, Miri mengambil sebuah piring bersih, membawanya mendekat ke wajan berisi porsi pasta yang memang disediakan oleh seniornya untuk para karyawan. Perlahan, ia mengisi piringnya dengan sesendok pasta beberapa kali. Setelah merasa cukup, Miri meraih kursi terdekat dan duduk seorang diri. Sesekali, para rekan sejawat menyapanya, membuka obrolan ringan sambil mencuci peralatan yang digunakan memasak.
“Oke, semuanya, kumpul dulu!” Kepala Chef menepuk tangan beberapa kali, mencuri perhatian seisi dapur. Para anak buahnya menurut, masing-masing mencari tempat yang nyaman untuk memusatkan perhatian ke bagian depan dapur, tempat Kepala Chef berdiri.
Saat suasana kembali hening, sang Kepala Chef lanjut bicara, “Sebelum mengakhiri tugas kita hari ini, ada beberapa hal yang perlu kita evaluasi. Selain itu, Pak Seno Narendra, selaku pemilik Arkate juga ingin menyampaikan beberapa kata.”
Miri tersedak saat mendengar nama itu. Beberapa rekan kerjanya menoleh. Yang lain menawarkannya segelas air pada Miri–di mana ia sangat berterima kasih. Ia segera menelan makanan yang tersisa di mulut, lalu merunduk di belakang punggung rekan kerjanya.
Setelah berhasil menghindari Seno Narendra di awal, ternyata mereka bisa saja bertatapan mata lagi di akhir? Miri tidak memperhitungan hal itu.
“Selamat malam,” suara itu masih sama, tegas tapi lembut. Anehnya, suara itu mengingatkan Miri pada pria di taman belakang yang sempat menggodanya.
Miri mengintip dari punggung temannya dan melihat Seno Narendra masih tampak bersahaja, seperti di awal pertemuan mereka. Jas biru tuanya masih tampak rapi, hanya air mukanya saja lebih lelah daripada sebelumnya.
“Malam ini adalah malam yang penting bagi saya dan firma yang telah saya dirikan selama 15 tahun,” Seno Narendra memulai. “Di tahun-tahun terakhir ini, kami sempat mengalami krisis yang hampir membuat saya kehilangan segalanya. Karena itu, saya ingin sesekali membuat acara besar untuk para karyawan, yang telah bekerja keras dan masih memegang kepercayaan pada Arkate. Setiap tahun, biasanya kami cukup merayakan dengan beberapa lusin pizza, pasta instan, dan soda.”
Beberapa rekan Miri tertawa kecil.