Resep Cinta Miri

Mozze Satrio
Chapter #11

Bab 11

Jihan tak dapat menyembunyikan wajah geram saat Miri menceritakan kembali apa yang ia bicarakan dengan Baskara pagi itu. Ia mengatupkan bibirnya rapat, menahan diri untuk tidak melemparkan amarah kepada sahabatnya. Namun, semakin lama Miri bicara, Jihan tak dapat menahan diri lagi.

“Mir, maaf ya aku ngomong gini soal Baskara,” ia memulai dengan nada datar. Tangannya terlipat di depan dada. Dengan seragam pramusaji yang ia kenakan, Jihan tampak sepuluh kali lipat lebih garang daripada biasanya. “Tapi emangnya pacar lu nggak tahu, ya, kalau gue dan Kemal adalah teman terdekat lu saat ini? Kenapa bisa-bisanya dia setuju Namira yang nemenin lu cari baju pengantin? Ada yang salah dengan selera fashion gue?”

“Baskara nggak ada maksud ngerendahin selera lu, Jihan,” Miri berusaha menenangkan sahabatnya, yang tak berhenti cemberut. “Dia cuma ngira gue dan Namira masih dekat. Itu aja.”

“Emangnya dia nggak pernah liat kalau lu lebih sering nongkrong sama kita? Lu juga sering update status waktu kita lagi bareng kan? Masa dia nggak nyadar sih?”

Kemal mengelus bahu Jihan lembut, meski usaha itu tak mempan meredam amarah yang telah sampai ke ubun-ubun. 

“Udah, sabar. Jangan emosi dulu. Baskara kan orang sibuk dan Namira kerja sama dia,” ucap pria itu lembut. “Apalagi, Namira udah nggak main sama kita. Kita nggak bisa nyalahin Baskara kalau dia cuma dapat informasi dari Namira. Belakangan ini, dia dan Miri juga bertengkar terus. Maklum lah kalau ada salah paham.”

“Gue rasa ini sih bukan salah paham, Mal,” bantah Jihan. “Menurut gue, Baskara tuh nggak perhatian. Belakangan ini, hal apapun yang berkaitan dengan dia tuh aneh banget. Mulai dari emaknya, terus percakapan tentang gimana Miri harus ngedeketin Seno Narendra–”

Miri mengalihkan pandangan saat nama itu disebut. Dalam dirinya, masih ada rasa pahit yang tersisa. Apalagi ketika Baskara melihat keberadaan Seno Narendra sebagai sekedar kesempatan. Padahal, bila hubungan ibunya dan Seno Narendra akan berakhir di jenjang yang lebih serius, Miri tak ingin sekedar memanfaatkan pria paruh baya itu. Bila Seno Narendra melihat potensi Miri dalam membangun bisnis pun, mereka pasti sudah mendiskusikannya sejak dulu.

Kalau soal Amara Wibowo, Miri sudah angkat tangan. Ia tak ingin mood-nya hari ini rusak karena membayangkan si nenek sihir.

“--dan sekarang Namira. Masalah satu belum selesai, udah datang masalah lainnya. Dan semua hal itu nggak satu pun yang berpihak ke kebutuhan Miri,” sambung Jihan. “Dia ini kan calon istrinya.”

Tiga sahabat itu saling terdiam. Miri mengulurkan tangannya ke arah Jihan dan meremas lengannya penuh sayang. Ia bersyukur memiliki teman seperti Jihan yang memahaminya lebih dari siapapun. Setiap emosi yang tidak dapat Miri ungkapkan, Jihan telah mengatakannya lebih dulu.

“Iya, iya, gue paham,” balas Kemal, lalu menghela napas. “Gue emang belum pernah nikah, tapi kalau denger cerita orang, sih, persiapannya memang banyak banget. Terlepas dari sibuknya Baskara sama kerjaan, gue rasa ucapan Jihan ada benarnya. Kalau dia memang mau menikahi lu, Mir, harusnya dia tanya langsung kebutuhan lu apa. Bukannya minta tolong lewat sekretarisnya untuk bantu lu.”

“Nah, itu juga aneh, tuh,” sambung Jihan. Jari telunjuknya menunjuk udara. “Kan yang jadi tunangan dia Miri. Citrasnya Baskara lebih dengerin pacarnya, dong? Kenapa si sekretaris itu yang lebih dia denger?”

“Makanya, udah gue bilang–”

Lihat selengkapnya