Resep Cinta Miri

Mozze Satrio
Chapter #13

Bab 13

“Jadi, kapan kalian nikah?” tanya Arman setelah menyesap minuman yang tersaji di meja. Sang kakak terbatuk-batuk, hampir tersedak oleh potongan roti yang sedang ia kunyah. “Gue kaget aja. Balik ke sini bukannya disambut dengan confetti, malah dapet berita lu mau married.

Seno Narendra berdeham, menepuk dadanya. 

“Rencananya sih tahun ini. Segera,” jawab Seno. “Doain, ya.”

“Buru-buru banget. Kalian baru ketemu lagi tahun ini juga, kan?” Arman mengerutkan kening. Seorang Seno Narendra yang dikenal gila kerja, tanpa pikir panjang akan menikahi perempuan yang dalam 20 tahun terakhir menghilang dari kehidupannya. “Ini perempuan yang sama dengan cinta pertama lu waktu SMA, ya?”

Ada senyum tipis yang menghiasi bibir Seno ketika Arman menyebutkan ‘cinta pertama’, membangkitkan ekspresi ala anak SMA yang baru mengenal cinta. Seorang pria yang hampir berusia 50 tahun masih bisa tersipu malu membicarakan rasa yang sempat terjalin di masa lalu. Kini, rasa itu datang lagi.

“Dibilang ‘cinta pertama’ rasanya konyol banget untuk umur segini,” bantah Seno, seakan bisa membaca pikiran Arman. “Gue lebih suka nyebut hubungan ini ‘reuni dengan teman lama’. Karena emang awalnya kami berteman. Setelah banyak ngobrol, gue ngerasa waktu bersama dia bakal lebih bermakna kalau dilalui bareng-bareng. Seumur hidup.”

Seumur hidup terdengar seperti waktu yang sangat panjang, pikir Arman. 

“Kenapa lu bisa yakin kalau dia orangnya?” tanya Arman.

Seno memutar matanya, tangan yang menggenggam potongan roti menggantung di udara. Ia coba memikirkan jawaban yang lebih dalam. Namun, Seno tahu. Tak perlu ada alasan dramatis untuk menjawab pertanyaan itu.

Ia berkata, “Dibilang yakin juga nggak sih. Tapi, gue ngerasa cinta sama dia terasa mudah aja.”

Arman mengerutkan kening.

“Mudah? Berarti perasaan lu dangkal, dong?”

Ketika hendak menjawab, suara Seno tertahan oleh Jihan yang hadir kembali di meja mereka sambil membawakan hidangan pembuka. Ia meletakkan setiap piring dengan rapi di permukaan bertaplak putih itu, sebelum berlalu pergi bersama senyuman singkat.

“Kalau menurut lu mungkin keliatannya dangkal. Menurut gue nggak,” Seno melanjutkan, sambil meraih sendok sup. “Gue bilang gini bukan berarti lu salah, ya. Wajar sih kalau keliatannya gitu karena hubungan gue dan Sara baru seumur jagung.

Setelah pernah bercerai, gue sempat nggak tertarik lagi dengan usaha mencari pasangan baru, apalagi masuk tahap ‘pacaran’. Tapi, setelah ketemu Sara, gue nggak mau buang-buang waktu. Dia orang yang tepat, dan gue sadar nggak boleh ragu. Apalagi, ngebayangin gue bakal menyesal seumur hidup kalau nggak ngambil inisiatif … rasa-rasanya, gue nggak sanggup. Jodoh memang nggak ada yang tahu, tapi gue nggak mau lagi melepas tangan yang sewaktu-waktu juga bisa terlepas selamanya.”

Kata-kata terakhir Seno bergaung di telinga Arman. Ada rasa sesak yang mengisi rongga dadanya. Ia mengalihkan pandangan, memindai setiap meja di sekitar yang diisi oleh pasangan dari berbagai usia. Ada yang saling berbagi hidangan dengan mesra, tertawa bersama. Ada yang satu meja dengan anak-anak mereka. Ada juga yang duduk berhadapan dalam diam, seakan udara di sekitar memendam ketegangan.

Setiap sudut yang mengandung emosi itu tak lagi menjadi bagian dalam hidup Arman. Baginya, cinta adalah materi yang telah lama menguap. Arman mengira, setelah Seno berpisah dari mantan istrinya, mereka akhirnya dapat memiliki kesamaan. Tak perlu lagi peduli dengan asmara, mereka dapat menjadi duo jomblo yang nongkrong bersama setiap akhir pekan. Namun sepertinya mimpi ideal itu tak lagi berlaku bagi Seno.

“Arman?”

Panggilan itu membuat Arman tersadar dari lamunan. Alis sang kakak menekuk dalam melihat adiknya yang mendadak diam.

“Supnya enak?” Arman bertanya, mengalihkan pembicaraan. Seno mengangguk.

“Oh iya, anaknya Sara kerja di restoran ini,” seru Seno. “Waktu acara kita kemarin, dia juga bantu masak di dapur. Tapi, karena satu dan lain hal, katanya dia ditugaskan di bagian lain. Padahal dia paling jago bikin dessert.

Lihat selengkapnya