“Wow,” gumam Arman, tak dapat berhenti menyendok hidangan penutup di hadapannya. Separuhnya telah ludes ia lahap, dan rasanya sayang untuk menghabiskan yang tersisa. “Tiramisu bisa, ya, seenak ini?”
“Gue bilang juga apa.” Seno Narendra menyunggingkan senyum kemenangan, merasa puas karena pilihannya tidak salah. Setidaknya, dalam hal memilih hidangan penutup mereka di Nero&Bianco malam itu. “Untung tadi gue pesan satu lagi,” ucapnya bangga.
“Gue pernah makan tiramisu. Tapi, kalau kelas restoran kayaknya emang beda, ya,” sahut Arman, mengisi sendoknya penuh dengan potongan berikutnya. Ia tak melewatkan setiap lapisan kudapan manis itu.
“Sopan nggak, sih, kalau lain kali gue minta dia masak buat kita? Untuk acara keluarga inti aja.”
“Nggak tahu juga, ya. Paling nggak, minta dia buat ini sebaskom penuh! Gue lahap semuanya sendirian!” canda Arman, menunjuk gelas coupe yang menjadi wadah dari tiramisu yang ia santap. Tak hanya rasanya yang lezat, tampilannya yang cantik dalam gelas kristal membuat kudapan itu serasa naik kelas. Seno tertawa kecil melihat Arman yang seketika bersemangat. Bisa jadi, paduan rasa manis dan kopi dari kudapan itu menjadi pemicu dari gairah yang datang tiba-tiba.
“Sara pernah cerita kalau anaknya emang jago masak, terutama pastry. Dia udah jadi penguasa dapur di rumah sejak SMP,” sambung Seno kemudian.
“Sejak SMP? Emangnya Sara nggak masak?” tanya Arman, mengelap krim keju yang menempel di bibirnya dengan ujung jari.
“Mana sempat. Dia sibuk kerja dari pagi sampai malam, apalagi kalau di dunia broadcasting.”
“Suaminya?”
“Pergi dari rumah sewaktu Miri masih kecil,” Seno mengecilkan suaranya, seakan sedang mengungkapkan rahasia yang tak seharusnya ia beberkan. “Sampai sekarang nggak ada kabar.”
Arman meletakkan sendoknya, mengerutkan kening. Seorang anak perempuan yang bertahan di rumah seorang diri, sementara orang tua tunggalnya sibuk bekerja. Ia memandang Seno, yang masih makan dengan lahap.
“Sepertinya gue bisa belajar banyak dari anaknya Sara,” sahut Arman kemudian.
“Maksudnya?” Seno tampak bingung.
“Sedari muda, dia udah terbiasa mandiri. Kalau dibandingkan dengan dia, kayaknya hidup gue lebih nyaman,” jawab Arman. “Meskipun gue nggak kenal bokap, setidaknya masih ada memori tentang dia waktu gue kecil.
Masuk ke dapur aja gue lakuin saat kuliah, itupun karena tinggal sendirian. Kalau orang yang lebih muda dari gue aja bisa punya insting bertahan hidup, harusnya gue bisa lebih dari itu, iya nggak sih?”
Alis Seno menekuk tajam. “Siapa bilang dia lebih muda dari lu?” tanyanya.
“Hah?”