Resep Cinta Miri

Mozze Satrio
Chapter #15

Bab 15

Good luck ya buat hari ini.


Simbol hati di akhir kalimat itu membuat senyuman di bibir Baskara mengembang. Di saat bersamaan, ia tahu tak seharusnya merasa demikian. Setelah menyisipkan ponselnya kembali ke dalam saku jas, Baskara menarik napas dalam-dalam. Ia mengusap wajahnya dengan kedua tangan, mencoba menenangkan diri.

Hari ini akan menjadi hari yang panjang, pikirnya.

Baskara tahu, acaranya bersama Miri hari ini akan menyenangkan. Setelah menghadiri undangan makan siang neneknya, mereka akan pergi menonton film dan makan malam. Belakangan ini, mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan masing-masing hingga tak memiliki cukup waktu untuk berkencan. Pertengkaran demi pertengkaran terasa begitu melelahkan, yang jika terus berlanjut, akan merusak hubungan yang telah mereka jaga bertahun-tahun.

Acara makan siang bersama nenek Miri telah menjadi agenda bulanan bagi Baskara dalam beberapa tahun terakhir. Meski kehadirannya tak selalu mendapatkan sambutan yang hangat, nenek Miri tak pernah menghalangi Baskara untuk meluangkan waktu bersamanya. Mungkin karena rumah itu sudah lama tak disambangi oleh pria muda, mengingat ayah Miri telah menghilang entah ke mana.

“Nenekku mungkin emang ketus, tapi kalau dia telepon, suka nanyain kamu, kok,” ucap Miri suatu hari pada Baskara. “Dia cuma ngerasa canggung aja ada pria ganteng main ke rumah.”

Candaan Miri kala itu membuat Baskara tersenyum, sekaligus memantapkan dirinya untuk meluluhkan hati si wanita tua. Pertemuan makan siang ini pun akan menjadi momen yang penting bagi mereka, mengingat sang nenek belum mengetahui rencana pernikahan Miri dan Baskara.

Baskara menarik napas dan membuangnya pelan. Sebuah buket bunga mawar berwarna pink muda yang ada di kursi penumpang tak luput dari pandangan. Atas saran Namira, sekretarisnya, Baskara mampir membeli buket di toko bunga terdekat, memsan rangkaian terbesar dan termahal yang dapat ia beli, sebelum sampai di kompleks apartemen Miri. 

Tak ada wanita yang tak luluh dengan seikat bunga, saran Namira kemarin. 

Dengan mantap, Baskara melangkah keluar mobil sambil menggenggam buket bunga itu. Dari halaman parkir, ia melewati unit-unit gedung sebelum berbelok masuk ke gedung tujuan, menaiki lift yang membawanya ke lantai lima. Setelah keluar dari kotak besi itu, Baskara menyusuri lorong dan melewati beberapa pintu. Ia berhenti di pintu kelima, merapikan ujung jasnya, dan memastikan kerah kemejanya tak terlipat. Ia menyembunyikan buket bunga di balik punggung saat menekan tombol bel di pintu.

Suara seorang wanita yang terdengar dewasa, menyambutnya di interkom. 

“Hai, Baskara,” suara Sara, ibu Miri, terdengar melalui pengeras suara. “Sebentar, ya!”

Pintu melagu rendah bersamaan dengan saat kunci diputar. Sara, ibu Miri, menyambutnya dengan wajah ceria. Rambutnya yang dipotong pendek terlihat rapi, seperti baru saja ditata di salon. Ia tampak kasual dengan kaus oblong dan celana panjang. 

“Ayo masuk, Nak,” ajak Sara, memberi ruang bagi Baskara untuk melangkah masuk. “Bentar, ya. Miri masih dandan.”

“Oke, Tante,” balas Baskara. “Saya tunggu di pintu aja, ya. Biar langsung berangkat.”

Sara menutup kembali pintu, sementara Baskara berdiam diri di beranda rumah.

“Oh, nggak mau minum atau makan snack dulu? Miri kemarin abis eksperimen kue baru,” Sara menawarkan, sembari berjalan menuju dapur. Sosoknya tak terlihat, tapi suaranya yang ceria begitu lantang. “Nggak begitu cantik sih, tapi enak, kok!”

Jujur saja, suara Sara yang penuh semangat terasa asing di telinga Baskara. Rasanya sudah lama ia tak melihat dan mendengar ibu Miri seceria ini. Bila cerita Miri benar, mungkin Seno Narendra, pacar baru ibunya, punya dampak baik baginya. Orang bilang jatuh cinta bisa bikin mabuk kepayang. Bisa membangkitkan kepribadian sejati yang telah lama terkubur. 

Lihat selengkapnya