“Nah kan, aku lupa lagi bawa kotak makan,” ucap Miri di sela-sela makan siangnya bersama sang nenek dan Baskara. Citra, sang asisten rumah tangga, tak berhenti keluar dan masuk ruangan sambil membawa kereta makanan. Saat kembali ke meja, ia segera mengisi area kosong di meja dengan beragam hidangan. Setiap masakan begitu menggoda lidah, membuat Miri tak berhenti menelan air liur. Mulai dari ikan bakar bumbu pedas, daging panggang, ayam goreng, berbagai macam sayuran tumis, sayur asem, hingga acar yang menyegarkan lidah.
“Kotak makan? Buat apa, Mir?” tanya Bu Aisha, neneknya, penasaran.
“Biar kalau ada sisa makanan, bisa aku bawa pulang,” balas Miri sambil nyengir lebar. Kata-kata itu membuat Citra tersenyum. “Enak banget, Citra! Kamu emang paling jago bikin masakan tradisional!”
“Nggak usah bawa kotak pun nanti Citra bakal siapin makanan untuk kamu bawa pulang,” sahut sang nenek, menepuk punggung tangan cucunya penuh sayang. “Baskara, makan yang banyak juga, ya. Tapi maaf kalau nanti mobilmu bau masakan rumahan.”
Baskara, yang sedang mengisi mangkuknya dengan potongan daging, tertawa kecil. “Nggak papa, Nek,” balasnya. “Kalau aroma makanan, saya senang aja.”
“Setelah ini kami mau nonton. Jadi, maaf kalau nggak bisa lama-lama, ya, Nek,” Miri menambahkan. “Belakangan ini kami berdua sibuk, jadi baru sekarang sempat jalan bareng.”
Bu Aisha mengangguk. Sambil menyendok kuah sup, ia meyahut dengan nada datar, “Tapi kalian ke sini bukan sekedar untuk makan siang dan kencan, kan? Ada yang mau kalian bicarakan dengan saya?”
Miri dan Baskara saling melemparkan pandangan. Saat ia berniat membuka mulut, kekasih Miri menahannya. Baskara menghabiskan makanan di mulutnya terlebih dulu, meletakkan sendok, sebelum mulai bicara.
“Nenek benar. Kedatangan saya dan Miri hari ini ada maksudnya,” kata Baskara dengan suara tenang. Ia menegakkan punggung, meletakkan kedua tangannya di ujung paha. “Kami berencana untuk menikah. Karena itu, kami harap Nenek memberikan restu.”
Suasana yang hangat perlahan berubah menjadi dingin ketika Bu Aisha tak kunjung memberikan tanggapan. Ia terus mengunyah, mengisi sendoknya dengan potongan daging ikan. Miri bersumpah ia dapat mendengar detak jam dinding, yang bergerak dari detik ke detik berikutnya. Setiap detaknya seirama dengan denyut jantungnya. Setelah menelan sendokan terakhir, Bu Aisha mengelap bibirnya dengan serbet. Ia menarik napas, membuat Miri turut menarik napas.
“Kapan rencananya kalian akan menikah?” tanya Bu Aisha.
“Mungkin tahun depan,” jawab Baskara, melirik ke arah Miri, yang menyepakatinya dengan sebuah anggukan.
“Terlalu lama,” balas Bu Aisha singkat, meletakkan serbet di meja. “Kalian menikah saja akhir tahun ini. Sebelum ulang tahun Miri yang ke-30, langsungkan pernikahan itu.”
Miri terkejut, begitupun Baskara. Kata-kata Bu Aisha bukan lagi terdengar seperti anjuran, tapi perintah.