Selepas menonton film, Miri singgah ke apartemen Baskara. Makan malam romantis dan pengaruh alkohol membuat keduanya larut dalam gairah untuk saling memeluk erat.
Dalam kamar tidur Baskara, kegelapan menyembunyikan mereka dari dunia yang belum siap untuk terlelap. Aroma sandalwood dari pewangi ruangan yang pernah Miri hadiahkan pada Baskara tercium tipis, membuatnya lebih santai. Seperti pemutar musik yang tombol volumenya diputar perlahan, suara-suara dunia pun teredam. Di antara desahan napas dari bibir yang saling bertaut, dunia mereka seketika mengecil. Kini hanya tinggal mereka berdua, tak ada orang lain.
Miri melingkarkan lengannya pada leher Baskara, memeluk pria itu semakin erat ketika ia mencumbunya lebih dalam. Nafas Baskara yang hangat menyentuh kulit, mengirimkan sinyal elektrik ke sekujur tubuh Miri. Ia melepaskan napas panjang saat Baskara mendaratkan ciuman di sepanjang sisi lehernya. Tangan Baskara meraba-raba, berhenti pada tali pengikat gaun yang Miri kenakan, lalu melonggarkannya.
Pria itu membaringkan Miri di tempat tidur, dengan perlahan membuka kancing kemejanya satu per satu. Seprai yang menyentuh kulitnya terasa dingin saat Miri mengamati kekasihnya dalam diam. Jari-jarinya menyusuri setiap lekuk tubuh Baskara yang nikmat di pandang. Lehernya yang jenjang, dadanya yang bidang, panas tubuhnya yang berbaur dengan tubuh Miri ketika ia memeluknya.
Dengan lihai, Baskara melucuti gaun Miri, hingga tak ada sehelai baju pun yang memisahkan tubuh mereka. Miri merengkuh pria itu dalam pelukan erat, tak menghalangi hasrat yang Baskara bagikan lewat ciuman dan belaian di sekujur tubuhnya.
Miri mendesah ketika bibir Baskara mengulum satu titik di lehernya. Tangan sang kekasih yang meremas pangkal pahanya, mengarahkan kaki Miri untuk memeluk area pinggangnya. Setiap kali pinggul mereka bergesekan, hasrat Miri untuk memiliki pria itu semakin tinggi.
“Baskara…” bisiknya lirih. Ujung-ujung kukunya mencengkeram punggung pria itu, membuat Baskara mengerang. “Baskara…”
Miri mengigit bibirnya ketika merasakan pangkal paha Baskara menekannya lebih kuat. Tubuhnya memanas. Miri tak dapat berpikir jernih. Ia merasakan ereksi itu, dipisahkan oleh selembar kain tipis dari pakaian dalamnya.
Dalam sekejap mata, hari yang mereka lalui hari itu melintas di benaknya. Bak film picisan yang diputar cepat dalam bioskop, setiap kejadian hari itu muncul di mata Miri dan ia tak bisa menghentikannya. Suara neneknya yang ingin ia menyegerakan tanggal pernikahan. Arman dalam balutan hoodie, pertama kalinya bagi Miri melihatnya tampil kasual. Sekotak popcorn berukuran besar. Tak lupa anting asing di lantai mobil Baskara.
Anting itu masih ada di dalam tas Miri. Jantungnya yang berdebar karena sentuhan Baskara, perlahan berbelok untuk alasan yang berbeda.
Tanpa aba-aba, Miri melepaskan peluknya, menahan tangan Baskara dari melepaskan pakaian dalamnya lebih jauh.
Pria di hadapan Miri terkejut, hingga hanya dapat mematung saat separuh tubuhnya masih menghimpit Miri. Wajahnya tampak bingung, dan Miri memaklumi.
“Sayang,” bisik Miri, sambil menangkupkan wajah Baskara. “Gimana … kalau kita nikah Desember ini?”
Tubuh Baskara seketika bergeming. Perlahan, ia menarik diri. Meski tak dapat melihat ekspresi wajah Baskara yang tertutup bayangan malam, tapi Miri tahu pria itu tak senang. Ia mungkin berpikir bahwa Miri sudah gila, dan dugaannya benar.
“Kamu gila, ya?” ucap Baskara ketus. “Kamu tahu itu nggak mungkin, Mir.”
Miri meraba-raba permukaan tempat tidur, segera membalut tubuhnya dengan gaun yang sempat Baskara tanggalkan.
“Aku merasa Nenek ada benarnya juga,” sahut Miri sambil menunduk. Ia tak berani menatap mata kekasihnya–karena Miri tahu, alasan terbesarnya hingga usulan itu keluar dari mulutnya bukan karena demi sang nenek semata. “Kita nggak perlu ngadain pesta mewah, cukup keluarga aja dulu–”
“Nggak,” potong Baskara tegas. Sambil turun dari tempat tidur, pria itu menggelengkan kepalanya tak percaya. Ia meraih celana yang tergeletak di lantai, buru-buru memakainya. “Aku nggak bisa nikah tahun ini, Mir! Kamu tahu itu!”
Nada bicara Baskara yang meninggi menggiring Miri ke tepian emosi. Ia mencoba untuk tetap tenang, tapi reaksi Baskara membuat Miri mempertanyakan apakah ia benar-benar menginginkan pernikahan mereka.
“Kenapa nggak bisa?” Miri mendengar suaranya gemetar. “Karena gengsi keluargamu? Karena ada rencana bisnis yang nggak bisa ditunda? Beri aku alasan kuat supaya aku nggak berubah pikiran, Baskara!”