Resep Cinta Miri

Mozze Satrio
Chapter #19

Bab 19

Belakangan ini, Arman Arkani merasa ia bukan menjadi dirinya sendiri. Setiap kali ia bersama dengan seorang teman wanita, pikirannya tak pernah ada di tempat. Tubuhnya masih bereaksi alami ketika bersanggama dengan lawan main. Namun, seminggu ini kepalanya tak sedetik pun beranjak dari pertemuannya dengan Miri.

Miri versi bioskop, bukan pekerja restoran berpenampilan kusut. Arman tak dapat melupakan wujud menawan dalam gaun putih ketat bermotif bunga, bukan seragam kerja ala chef berwarna putih yang dua nomor kebesaran. Rambut hitam yang biasanya diikat kuat membentuk cepol di belakang kepala, tergerai dan mengembang menutupi dada. Kakinya yang molek, tak terbungkus oleh celana kerja yang membatasi pandangan Arman untuk berimajinasi.

Terlepas dari keindahan fisik Miri yang membayangi Arman setiap kali ia punya waktu lengang, ia pun tak bisa melupakan satu kata yang terucap dan menghancurkan rencananya untuk menggoda Miri lebih jauh. 

Wanita itu telah memiliki seorang kekasih. Lebih tepatnya, tunangan. Seorang calon suami. Sebuah status serius yang belum pernah Arman lalui. Seperti halnya memetik setangkai bunga di ladangnya, akan ada satu kuntum yang spesial, yang tak akan pernah berani ia usik. Yaitu bunga yang telah menjadi milik orang lain.

“Arman.”

Sayangnya, ada kenyataan yang akan menjadi bagian dari kehidupan Arman dalam dua bulan ke depan. Ia tahu tak akan bisa menghindari Miri setelah kakaknya, Seno, menikahi Sara, ibu Miri.

“Arman.”

Apa mungkin seseorang mengalami deja vu yang sama persis untuk kedua kalinya? Arman penasaran. Dan ia tak yakin siap untuk menghadapinya, lagi.

“Arman Arkani!”

Arman tersentak dari kursi selepas namanya dipanggil untuk ketiga kalinya. Punggungnya menegak, mata memindai selusin wajah yang menatapnya bingung. Arman lupa, ia sedang berada di tengah rapat evaluasi mingguan ketika pikirannya berkeliaran tentang Miri.

Seno Narendra, berdiri di samping papan presentasi, bertolak pinggang. Wajahnya menegang, dengan mata yang menatap tajam ke arah sang adik. Langit mendung di balik punggung Seno membuatnya terlihat sepuluh kali lipat lebih mengerikan.

“Anda sudah siap untuk presentasi perkembangan perencanaan gedung Lumina?” tanya Seno dalam geraman rendah. “Kalau ngantuk, cuci muka dulu sana.”

“Maaf. Saya sudah siap,” jawab Arman singkat. Sambil membawa laptop kerjanya, ia berdiri menuju sisi depan ruang rapat kantor Arkate. Arman mengoneksikan perangkatnya dengan proyektor, menampilkan hasil kerjanya minggu lalu.

Arman menarik napas panjang dan membuangnya pelan. Dalam sekejap, ia menguasai diri. Sambil menebar senyum kepada seluruh peserta rapat, Arman berkata, “Mohon maaf, tadi saya melamun sebentar. Maklum, belum ngopi.”

Kata-kata itu membuat beberapa orang tertawa kecil, mencairkan suasana. 

“Oke. Saya mulai saja presentasinya,” lanjut Arman. Warna layar berubah menjadi terang, menampilkan denah rancangan bangunan Lumina, sebuah gedung bertingkat yang menjadi tanggung jawab Arman. “Minggu kemarin saya sudah bertemu dengan tim konsultan struktur. Mereka memberikan dua pilihan untuk area pameran yang ada di lantai dua, yang menjadi masalah terbesar dalam perancangan Lumina.”

Arman menunjuk sebuah area luas di tengah gambar bangunan yang tampil di papan presentasi. 

“Pertama,” Arman mengangkat jari telunjuknya. “Jika ingin area ini clean dari kolom, hal itu bisa dilakukan dengan memperbesar ukuran kolomnya. Dengan begitu, bentang baloknya bisa diperpanjang. Dengan konsekuensi, fondasi berarti harus diperdalam dan peningkatan biaya struktur karena ukuran kolom dan balok otomatis membesar. Which means, it will cost a lot of money.”

Arman mendengar para peserta rapat menggerutu dalam gumaman rendah. Ia sudah pernah bilang, desain bangunan yang dinamis adalah musuh besar para konsultan struktur, tapi tak ada yang mau mendengarnya.

Lihat selengkapnya