Wisnu bergegas, mempercepat langkah setelah mengenali wajah pasangan yang duduk di dekat jendela. Keduanya tampak serasi dalam balutan pakaian serba hitam, saling berbisik mesra sebelum kedatangan Wisnu memecah suasana.
“Halo. Udah nunggu lama, ya?” sapa Wisnu.
Wisnu mengulurkan tangan, menjabat tangan kedua sosok di hadapan mereka dengan erat. Setelah menyapa pria berjas hitam, nada bicara Wisnu melembut pada si wanita.
“Hai, Namira,” sapanya penuh senyum.
Perempuan itu tinggi semampai, dengan rambut hitam yang diikat, membentuk gelung di belakang kepala. Poninya turun menutupi dahi, dengan sepasang mata yang mengingatkan Arman pada mata kucing. Beberapa helai rambut yang jatuh alami di samping wajahnya bagaikan bingkai hitam, membuat mata Arman tak dapat beralih dari wajahnya yang anggun. Dari caranya berjabat tangan, Arman tahu kehadiran wanita itu di antara tiga orang pria bukanlah sekedar asesoris.
“Akhirnya kita ketemu lagi, Wisnu,” balas Namira, menyunggingkan senyum ala korporat. Intonasinya saat bicara terdengar rendah, berhati-hati, menguatkan pesona elegan yang melengkapi bahasa tubuhnya. Saat bersalaman, Namira menjaga postur tubuhnya tetap tegak. “Terima kasih karena udah bersedia datang. Oh iya, kenalin. Beliau adalah Direktur dari Terrahaus Property, yang menangani seluruh proyek properti di Jakarta.”
Arman harus mengakui, pria yang berdiri di samping Namira tampak mempesona. Tak hanya parasnya, tapi tubuhnya yang proporsional membuat Arman bertanya-tanya mengapa ia tak menjadi seorang model saja. Dagunya terangkat tinggi, mencerminkan didikan orang tua yang disiplin, arogan, dan menjunjung tinggi kehormatan keluarga.
Pria itu mengulurkan tangan ke arah Arman. Saat tangan mereka bertemu, ia memperkenalkan dirinya sambil meremas dengan tegas.
“Nama saya Baskara Wibowo. Salam kenal,” ucap pria itu.
“Saya Arman Arkani,” balas Arman. Ia beralih pada Namira Apsari, yang memperkenalkan dirinya sebagai sekretaris Baskara.
Setelah saling memperkenalkan diri, mereka pun duduk kembali di kursi masing-masing.
“Arman ini adik kelas saya sewaktu kuliah. Sekarang kami rekan dalam tim yang sama di Arkate,” Wisnu menjelaskan, menepuk bahu Arman kuat-kuat. “Baru-baru ini dia pulang setelah menyelesaikan kuliah S2 di Jerman. Sebelumnya, dia jadi bagian tim kakaknya. Tapi, setelah Seno lebih fokus sebagai CEO, Arman sekarang jadi bagian dari tim saya.”
Wajah Baskara dan Namira berubah setelah mendengar nama yang terdengar familier. Alis Baskara terangkat tinggi, seakan-akan ia sedang mendengar sebuah fakta yang mengejutkan.
“Seno? Maksud Anda Seno Narendra?” tanya Baskara, tampak antusias.
Wisnu dan Arman saling pandang. “Pak Baskara kenal?” tanya Wisnu.
“Dibilang kenal pun, jujur saja kami belum pernah ngobrol. Lebih tepatnya, kami sebentar lagi menjadi keluarga.”
Arman mengerutkan kening. Tiba-tiba ia merasakan firasat tak enak.
“Situasi di antara kami agak membingungkan. Bagaimana menjelaskannya, ya?” Baskara tertawa kecil, tampak gugup. Ia melirik ke arah Namira yang tampak tak tertarik dengan pembicaraan itu. Seorang pelayan mendekati meja, menyerahkan dua buku menu kepada para pengisi meja itu. “Seno Narendra akan segera menikahi ibu dari calon istri saya.”
Waktu yang bergulir memberikan kesempatan pada Arman untuk mencoba mencerna kalimat itu. Baskara mengenal Seno. Seno akan menikahi Sara. Sara mempunyai seorang putri. Miri. Perlahan, kata-kata Baskara mulai masuk akal.
Sementara itu, Wisnu masih tampak kebingungan.
“Maaf, saya masih bingung,” ucap Wisnu.
“Jadi, saya sedang bertunangan dengan seseorang. Dan ibu dari tunangan saya ini akan menikahi Seno Narendra bulan depan,” Baskara menjelaskan.
Selama sepersekian detik, jantung Arman berhenti berdetak. Air muka yang ia jaga tetap tenang seketika menegang. Ia tak percaya dengan apa yang barusan Baskara katakan. Arman menatap pria itu lekat-lekat, mendengar suara yang berbisik pada dirinya: pria ini adalah tunangan dari Miri.