Awalnya, Ibu menganggap aneh keluhanku. Bersama dengan Mbus Cumulunimbus yang selalu berada dalam gendonganku kami mendatangi dokter Yoga, dokter umum yang bekerja di rumah sakit tempat ibu bekerja. Jika memasuki penilaian ujian dan diharuskan memberi nilai, maka dokter Yoga mendapat sepuluh untuk kebaikannya, sepuluh lagi untuk kecerdasannya dan sebelas untuk kegantengannya. Walaupun tak ada nilai sebelas dalam kolom penilaian. He.
"Apa kau merasa lidahmu ngilu?" tanya dokter Yoga lembut, penuh kasih sayang. Jambang tipis di dagunya ikut bergerak-gerak. Aku menggeleng.
"Apakah ada sedikit nyeri?"
Aku menggeleng lagi kemudian memegang lidahku. Semua normal, tekstur lidah yang tidak rata, bergelombang halus penuh dengan serupa bintik di sana dan kurasa semua normal.
"Lalu, dimana letak sakitnya?" Kali ini mata dokter Yoga menatap tajam ke arahku, tepatnya lidahku. Bola matanya hitam seperti milikku. Satu tahi lalat kecil ternyata tersembunyi di dekat alisnya yang tebal.
"Apa dokter tadi baru makan sekoteng?" tanyaku akhirnya. Dokter tampan di depanku tertawa renyah begitu juga ibuku. Tidak, tawa ibuku semi takut.
"Kenapa kau menyimpulkan kalau dokter minum ya, bukan makan ... Sekoteng?" tanyanya balik. Mbus yang mengeong di tanganku seolah menyuporteri diri ini agar menjawab dengan lantang bak sedang dalam ajang cerdas cermat.
"Bau jahe yang ...." Mataku menutup merasai aroma yang kucium.
"Hangat, menusuk hidung pedasnya dan tajam. Sepertinya jahenya sangat pedas hingga langsung terasa hangat di tubuh."
Mata dokter Yoga menyipit lalu mencubit pipiku. "Kamu sembuh, bukan lidahmu yang sakit tapi hidungmu." Sekali lagi dokter ganteng mencubitku, di hidung. Lalu mengacak-acak kulit Mbus.
"Dia sepertinya terberkati, Mbak. Bakat," ucap dokter Yoga kepada ibu. Setelah itu aku disuruh ke luar ruang praktek dan menunggu di luar. Dua pasien lain menunggu dokter Yoga. Satu, lelaki tua dengan mata cekung dan tubuh kurus bersedekap di sebuah tongkat, sedang satu lagi wanita muda berhidung mancung. Tangannya dibalut perban dan harum tubuhnya mirip harum bunga melati di pekarang rumah Dandi. Eh, tapi ada bau rumput basah dan terinjak diantara bajunya. Mungkin sebelum ke sini dia piknik dulu di sebuah taman.