Aku duduk manis di atas ranjang. Hidungku kukembang-kempiskan sambil berlagak sedang mengetes sesuatu. Kesimpulanku : Tidak ada apa-apa. Dokter itu pasti salah.
Mbus Cumulunimbus menirukan gerakan hidungku di dekat kakiku. Lucu sekali. Dia juga menyentuhkan kepalanya ke arah perutku dan membuatku gemas ingin memeluknya. Saat itulah tercium sesuatu dari antara bulu-bulu kulitnya.
Hmm ... bau tanah yang basah setelah sekian lama kering. Aku melirik ke arah jendela, sejauh mata memandang kulihat tempat Dewi Sri kemarin bertahta masih tetap sama. Bekas kilatan petir Dewa Hercules juga masih terlihat hitam pekatnya. Aku merinding.
Kemudian, bau itu tercium lagi. Gosong, seperti ubi yang dimasak dengan bekas ranting yang kering. Tak sabar, aku mendekat ke jendela, mengintip ala tentara, menyipitkan mata dan ... aku yakin disanalah Mbus Cumulunimbus menghianatiku. Saat aku terkulai kebingungan di rumah sakit dia mengadakan pesta. Menyebalkan.
Ayo, Mbus. Ngaku.
Dia hanya mendengus dan menjilati kulit kakinya. Dan saat itulah sisa-sisa semacam tepung tersangkut di gigi-giginya yang tak seram. Aku mendekat untuk melihat lebih tajam. Ketika kupegang, dan kucium sisa sejenis makanan itu ternyata baunya mirip dengan ubi bakar yang sedap.