Langit masih gelap saat petir dari Raja Halilintar klan Zigi meneror bumi, begitu kata majalah anak yang kubaca, membuatku terpaksa meringkuk di bawah selimut peninggalan Nini, nenekku yang telah berpulang dua tahun lalu. Perihal petir, Nini memiliki versi ceritanya sendiri.
"Kau masih takut akan hujan, Non?" Begitu Nini pernah berkata. "Hujan ... adalah euforia kemenangan Dewi Padi yang berhasil mengalahkan Thor, Raja Halilintar. Jika gelegar di langit mampu menggetarkan bumi, maka kemenangan Dewi Padi tinggal menunggu hitungan jari." Tangan Nini menepuk punggungku yang membelakanginya menghadap jendela, tepat saat tepukan Nini melemah karena tertidur, rintik hujan mulai turun, merembes di kaca dan suara petirnya perlahan hilang.
Kaki kecilku merosot turun dari ranjang yang berdecit, merasai aroma tanah karena hujan pertama kali petrichor dan melihat seorang Dewi berlari bahagia di antara hamparan padi di samping rumah. Kuusap mataku berkali-kali, aku melotot ke arahnya sambil membayangkan retinaku melebar bak teropong bintang dan ... benar. Wanita berambut panjang dengan sayap di dua sisi tubuhnya itu menari indah di tengah sawah.
Dia melihatku. Secepat siput dalam film animasi, aku merangkak di lantai kamar, meraih pinggiran ranjang lalu bersembunyi di bawah ketiak Nini yang hangat. Debar dalam dadaku masih ada, kupaksa kantuk datang lalu terlelap.
Aku terbangun saat pelukan tangan Nini terasa berat di tubuhku. Saat kucoba menyingkirkan, tangan itu sudah lemas, tak bertenaga bahkan hembusan nafas Nini juga sudah tiada.
"Mama! Nini ... Nini!" teriakku kencang mengguncang jagat. Mama berlari segera, membuka pintu kamar lalu menelentangkan Nini. Dirasainya nadi di tangan Nini, kemudian mengecek nafas di hidungnya lalu Mama terkulai di bawah ranjang dan menangis.
Aku memeluk tubuh Nini yang masih hangat. Meskipun semua kulitnya sudah memucat.
***
"Noni, sayang. Cepat turun. Masakan sudah siap." Mama berteriak dengan oktaf tujuh ke atas saat aku bersembunyi dari suara petir yang masih menggelegar. Nampaknya, Thor masih bergulat dengan Nyi Pohaci di atas sana, karena hujan belum juga memperlihatkan tanda-tanda akan turun. Keringatku mengucur dan selimut Nini masih membalut tubuhku. Mama memasuki kamarku dengan sedikit kesal karena menunggu terlalu lama.
"Sayang, Mama sudah memanggil beberapa kali, kenapa masih di kamar?" Wanita cantik berlesung pipit satu itu berjalan gemulai mendekati jendela. Menutup tirainya lalu berkacak pinggang ke arahku.
"Kau masih saja takut petir?" Nada bicaranya mirip dengan Kapten Hook saat hendak menyerang Peter Pan. Mata Mama berpura-pura melotot lalu dia segera menyerangku di atas kasur dengan jurus gelitik geliga -geli-geli bahagia- dan membuatku kalah telak.
"Ampun, Ma. Noni kalah," rajukku menyerah. Mama membelai rambutku lalu ikut berbaring bersamaku. Pelukannya mirip seperti pelukan Nini. Aku memegang hidungnya yang mancung lalu memainkannya sebentar.
"Makanlah, Mama shift malam hari ini. Jadi, sebentar lagi Mama akan pergi. Kau tak apa-apa di rumah sendiri?"
Aku mengangguk. Menendang selimut Nini ke angkasa kemudian bersiap turun. Saat itulah suara rintik hujan terdengar dengan syahdu dan menenangkan hati.
"Kita makan, yuk. Ma. Lapar." Aku berlari menuruni tangga lebih dulu sedangkan Mama mengekor di belakang.