Anita membuka lembaran demi lembaran kertas itu sambil memijit-mijit kepalanya pelan. Sudah dua hari ini ia lembur dan berkutat dengan seluruh jadwal meeting yang begitu padat di minggu ini. Peluncuran produk terbaru dari ‘Hulo Jeans’ membuat jadwal direkturnya itu seketika padat, dan sebagai sekretaris—Anita adalah orang yang bertanggung jawab untuk membereskan semua jadwal tersebut sesuai dengan permintaan bos-nya tersebut.
Tiba-tiba saja, ponselnya berdering cukup kencang, telepon masuk dari ibunya. Anita segera mengambil ponsel yang ia letakkan dipojok meja kerjanya tersebut dan tidak lama kemudian Anita langsung menggeser tombol berwarna hijau yang ada dilayar ponselnya untuk mengangkat panggilan tersebut.
“Halo, bu?”
“Halo, nak…” Jawab ibunya dengan suara lembut. “Kamu kesini jam berapa jadinya?”
Anita langsung melihat kearah arlojinya, jarum panjang jam tangannya sudah menujukkan pukul delapan malam. “Hmm... kayaknya Anita bakal pulang kerumah telat, bu. Hari ini masih banyak pekerjaan Anita yang belum selesai.”
“Oh, begitu ya…” Walaupun tetap terdengar tenang, namun Anita bisa mendengar dengan jelas nada kecewa dari suara ibunya barusan.
“Iya, bu… maaf ya…” Balas Anita lesu. “Ibu, bapak, sama Rio rayain ulang tahun bapak duluan aja, Anita sudah titip hadiah buat bapak ke Rio.”
“Yasudah, gak apa-apa kok, Nak. Nanti kalau sudah selesai ngantor, langsung pulang ya. Kamu hati-hati nyetirnya, sudah malam.”
“Iya, bu. Salam buat bapak ya, bilang selamat ulang tahun dari Anita.” Ucap Anita sambil tersenyum pilu.
Anita segera meletakkan kembali ponselnya diatas meja kantor, ia lalu mengusap wajahnya pelan dengan kedua telapak tangannya. Anita lantas melirik kearah figura yang berisi foto keluarganya itu dengan pandangan lesu. Bahkan di hari ulang tahun ayahnya saja, Anita tidak bisa pulang cepat untuk merayakan hari yang hanya terjadi setiap satu tahun sekali tersebut.
Tangan kanan Anita sontak membuka laci meja kantornya yang berisi beberapa dokumen dan peralatan tulisnya. Dibagian laci paling dalam, Anita tahu ada sebuah surat dalam amplop putih yang belum pernah ia sentuh lagi setelah 2,5 tahun lamanya. Namun, untuk hari ini saja, entah kenapa tangan Anita rasanya ingin merogoh surat itu dan membawanya keluar dari dalam laci meja kantornya tersebut.
Anita lantas menarik surat dalam amplop putih itu secara perlahan. Ketika amplop tersebut sudah benar-benar terpampang wujudnya didepan mata Anita, wanita itu lalu menghembuskan nafas berat sambil melihat kalimat besar yang ditulis dengan spidol hitam diatas amplop tersebut.
‘Hah…. Apakah ini sudah saatnya Anita untuk resign?’
***
“Assalamualaikum.” Ucap Anita sambil menutup kembali pintu rumah kedua orang tuanya tersebut. Anita lantas menyalakan lampu ruang tamu yang semula sudah dimatikan itu, kedua matanya langsung melirik kearah jam dinding rumahnya yang sudah menunjukkan pukul 10:30 malam.
Suasana rumahnya sudah terasa sepi, Anita tahu bahwa kedua orang tuanya dan adik laki-lakinya itu sudah kembali ke kamar mereka masing-masing untuk pergi tidur. Anita lantas melepas high-heels yang dikenakannya itu, lalu segera berjalan dengan langkah pelan menuju ke kamar tidurnya.
Anita kembali menutup pintu kamar tidurnya dengan sangat hati-hati agar tidak sampai menimbulkan suara. Dengan langkah cepat, ia segera melemparkan tubuhnya keatas tempat tidur yang sudah sekitar satu bulan lebih tidak ia tempati tersebut.
Sejak tinggal sendiri di apartemen, Anita memang hanya kembali ke rumah orang tuanya ini setiap dua minggu atau satu bulan sekali. Anita memutuskan untuk tinggal di apartemen yang lokasinya lebih dekat dengan kantornya, sejak tahun keduanya bekerja di perusahaan brand pakaian lokal tersebut. Dan sekarang, tidak terasa sudah hampir tiga tahun ia menetap diapartemen-nya itu, dan kurang lebih lima tahun Anita sudah bekerja diperusahaan-nya yang sekarang
“Ah… capek banget.” Keluh Anita sambil memejamkan kedua matanya.
Anita bisa merasakan seluruh otot-otot tubuhnya yang terasa pegal. Memang, ketika perusahaan sedang meluncurkan koleksi terbaru, maka saat itulah Anita akan bekerja super extra. Sebagai sekretaris dari direktur perusahaan, Anita harus menyusun semua jadwal direkturnya tersebut hingga mengikuti kemanapun direkturnya itu pergi. Entah meeting, entah business lunch, dinner, golf, dan lain sebagainya.
Bukannya Anita tidak menyukai pekerjaan, ia justru sangat mencintai pekerjaannya. Ia memiliki bos yang sangat baik—ibu Anne, dan lingkungan pekerjaan yang suportif. Namun, entah kenapa, akhir-akhir ini Anita merasa jenuh. Bukan jenuh pada pekerjaanya, tapi lebih jenuh dengan hidupnya yang sangat monoton. Bahkan, Anita bisa merasakan bahwa passion kerja-nya semakin terkikis setiap harinya.
Anita sudah mencoba berbagai cara untuk menghilangkan rasa jenuhnya tersebut, mulai dari ambil cuti liburan, hingga bos-nya sendiri yang menawarkan Anita untuk melakukan perjalan bisnis keluar negeri, agar sekaligus Anita bisa berlibur sambil refreshing. Namun, ternyata berbagai hal yang sudah dilakukannya itu tetap tidak bisa membawa passion Anita kembali.
Anita kemudian segera beranjak dari posisi tidurnya, wanita itu kemudian melangkah kearah rak bukunya yang ada dipojok kamar tidurnya. Anita menyentuh buku-buku itu dengan jari-jari tangannya. Seketika Anita kembali teringat akan mimpi masa lalunya, yaitu menjadi seorang penulis.
Mimpi itu tidak pernah pergi dari hati dan pikiran Anita, masih tersimpan dengan sangat rapih dibenaknya. Namun, manusia memang tidak pernah tahu kemana hidup akan membawa diri mereka. Contohnya, seperti Anita sekarang, saat kuliah ia sengaja masuk jurusan sastra untuk mengejar mimpinya menjadi seorang penulis, namun ia justru berakhir menjadi seorang sekretaris di ‘Hulo Jeans’.
Anita kemudian menarik sebuah novel dengan judul ‘Twilight’. Ia lalu tersenyum tipis sambil memandangi novel tersebut, Anita ingat sekali novel ini adalah sebuah mahakarya yang berhasil membuat Anita memiliki mimpi untuk menjadi penulis seperti Stephanie Meyer.
Saat tengah membuka lembar demi lembar dari novel tersebut, Anita tiba-tiba menemukan sepucuk kertas yang warnanya sudah mulai kecoklatan tersebut. Anita lalu menarik kertas itu keluar, kedua matanya langsung membesar saat membaca kata demi kata yang ada didalam kertas tersebut.
‘Anita, kalau mungkin suatu saat nanti kamu lupa tentang mimpimu yang berawal dari novel ini, ingat; mimpi tidak punya tanggal kadaluarsa. Jadi, jangan berhenti untuk mencoba, ya!’
Anita lantas menggigit bibir bagian bawahnya pelan. Ia tidak pernah tahu bahwa hanya dengan sepucuk surat yang ditulis oleh dirinya di masa lalu itu, dapat mempengaruhi sebuah keputusan terbesar yang akan segera ia ambil dihidupnya saat ini.
***
“Apa kamu sudah yakin sama keputusan ini, Anita?” Tanya Ibu Anne sambil memegang kertas putih tersebut dengan kedua tangannya. “Apa yang membuat kamu ingin sekali resign?”
Anita menganggukan kepalanya pelan, ia lalu menautkan kedua telapak tangannya sambil tersenyum. “Saya rasa diri saya ini butuh untuk istirahat sejenak, bu.”
“Kamu bisa ambil cuti libur loh, saya yang berikan. Kamu mau berapa hari? Satu minggu? Dua minggu? Satu bulan?”
Anita lalu terkekeh pelan setelah mendengar ucapan ibu Anne barusan. “Terimakasih banyak, ibu memang sangat baik.”
“Tapi, saya merasa benar-benar butuh rehat dari semua kegiatan, bu... Entah kenapa, saya seperti kehilangan passion saya dalam bekerja. Awalnya, saya kira ini hanya perasaan sementara saja, namun sampai saat ini saya masih merasa seperti itu. Saya tidak mau bekerja dengan hati setengah-setengah, apalagi untuk perusahaan sebesar ini dan bos sebaik ibu.” Sambung Anita sambil menundukkan kepalanya.
Ibu Anne hanya bisa terdiam setelah mendengar ucapan Anita barusan, entah kenapa jantung Anita terasa berdetak lebih cepat sekarang. Ia takut jika kata-katanya barusan menyinggung bosnya tersebut. Sebab, Ibu Anne benar-benar orang yang sangat baik. Ia adalah tipe pemimpin yang sangat mengayomi dan sangat peduli dengan para staff-nya.
Saat ini, Anita pasti kedengaran seperti karyawan yang tidak tahu rasa bersyukur, ya? Tapi, untuk saat ini saja, Anita merasa perlu mengatakan itu semua untuk kebaikan dirinya sendiri—sebelum ia memikirikan tentang kebaikan untuk orang lain.