Namanya Daren. Cowok dengan rambut gelap dan senyum paling tulus yang pernah Adira lihat. Sosok berbalut tawa yang bahkan tak tahu bagaimana memperjuangkan dirinya sendiri.
Berawal dari salah masuk kamar, Adira menemukan sosok yang bisa melengkapinya. Mengisi bagian tak utuh dari Adira dan kebencian akan hidup yang ia miliki.
"Lo baru makan dua suap. Masa iya mau berhenti?" Adira menggenggam mangkuk bubur di tangannya dengan sorot mengancam. Anehnya, sosok di depannya yang kini terbaring di ranjang tidak terlihat takut, justru terkekeh pelan.
"Gue nggak bisa makan banyak-banyak, Dira. Udah, ah. Jangan repot-repot suapin gue segala," balas Daren dengan sisa tawa miliknya. Adira terdiam sejenak, lalu sadar yang dikatakan pria itu ada benarnya.
"Ya udah, udah ya makannya. Minum dulu gih." Disodorkannya segelas kecil air. Daren meraihnya, namun tatapan teduh itu justru mengarah pada Adira, seolah menimbang sesuatu.
"Kenapa?"
Adira menatap perubahan ekspresi pada wajah Daren, yang justru menggeleng. "Lo kenapa mau ribet ngurusin gue, Dira? Kan lo juga punya banyak urusan lain." Akhirnya setelah dua minggu pertemuan mereka, Daren mengutarakannya.
Gadis itu berpikir sejenak. "Kenapa, ya? Gue juga nggak tau. Gue seneng ketemu sama lo dan gue nggak suka keadaan rumah gue." Adira terdiam sejenak. "Bahkan bisa dibilang, gue benci sama hidup gue. Itu salah, kan? Tapi gue nggak bisa maksain diri."
Pria di hadapannya tersenyum sesaat, tampak sedang berusaha menyusun kalimat yang tepat. "Gue tahu ada beberapa hal yang nggak lo suka, tapi mereka tetap keluarga lo. Mungkin nggak sekarang, tapi lo bakal tau apa yang mereka lakuin ada benarnya," ujar Daren selembut mungkin. Ia yakin hal seperti ini cukup sensitif bagi gadis itu.
"Gue tahu, Ren," balas Adira. "Gue cuma ... yah, gue cuma nggak suka mereka ngatur semua hal tentang gue. Gue bukan robot, gue butuh ruang buat bernapas dan mencintai diri gue sendiri," lanjutnya. "Tapi, gue nggak seberuntung itu."
Daren menatap ke luar jendela yang mengisi salah satu dinding kamar rawatnya. Memperhatikan awan yang berbaris, juga mendung yang mulai memeluk langit. Agak lama, pandangan pria itu kembali pada Adira.
"Lo baik banget, Ra," ujarnya terus terang. "Lo bahkan mau main ke sini dan temenin gue. Tapi masalahnya, semua itu nggak cukup."
Adira nyaris tidak percaya dengan apa yang dikatakan Daren. "Maksud lo?"
Daren meneguk kembali air dalam gelas, lalu melanjutkan, "Nggak cukup kalau lo masih membenci kehidupan lo sendiri."