Resiliensi

Mersy Eka Mulyani
Chapter #2

01 -- Awal yang Tak Disengaja

"Adakah teman yang tahu arti saling menghargai?"

"Hei, bertambah satu pengikutnya Azhar!"

Hari ini hujan deras membuat udara di sekitar bangunan serbaguna terasa dingin. Angin berhasil menyibak-nyibak rintiknya hingga sedikit membasahi seragam-seragam kami.

Setelah berhari-hari tunggang langgang--membangun pionering kapal, berlatih membuat tandu selama dua menit, membuat piramida, latihan yel-yel--acara ulang tahun SMA Bangun Bangsa ke-47 pun akhirnya selesai.

Aku duduk di kursi yang sejajar dengan Rara. Lihatlah gadis itu yang sedang curi-curi pandang dengan Kak Azhar. Aku rasa, mereka ada suatu hubungan spesial yang tidak kami ketahui. Terlihat lucu dan menggemaskan, namun juga menggelikan secara bersamaan.

"Yey! Bertambah lagi pengikut Azhar guys!"

Dari balik kacamataku yang sedikit berembun, sekilas kulihat raut wajah Daffa yang girang saat seorang anggota yang juga memakai seragam Pramuka memasuki bangunan serbaguna untuk ikut berteduh.

"'Siip' kan?" Daffa menangkup kepalanya dengan kedua tangannya sebab merasa tak percaya orang itu menyetujui dengan balas mengacungkan jempol padanya.

Sebenarnya, aku di sini juga hanya untuk ikut berteduh karena ruang di sanggar tidak begitu besar. Tapi, dua laki-laki yang sedang duduk di motor yang tak jauh dari hadapanku ini langsung melabeli bahwa kami yang sedang berkumpul di sini adalah pengikut Kak Azhar. Aku tidak mengerti datang dari mana konsep itu, tapi tak ada cara lain untuk sekadar mendengarkannya.

"Eh, ajak Kak Andhra jadi pengikutmu, Zhar!" kelakar Daffa dengan nada pelan sembari mencondongkan badannya ke bahu Kak Azhar.

Kak Azhar tersenyum jahil sambil mengangguk. Kedua laki-laki itu pun menunggu kedatangan Kak Andhra--pembina kami--yang hendak melalui perkumpulan 'siip' ini.

"Kak! Kak! 'Siip', Kak?"

Terdengar suara Daffa dan Kak Azhar yang berebutan menanyai Kak Andhra sembari ibu jari mereka acungkan. Aku yang semakin tak mengerti dengan tingkah keduanya pun membulatkan mata tak menyangka. Mereka sangat berani dan baru saja kutemui orang seperti mereka.

Sorak-sorai perkumpulan 'siip' terdengar meskipun tak bisa mengalahkan suara derasnya hujan ketika Kak Andhra sembari tersenyum meskipun aku tahu beliau hanya asal saja membalas mengacungkan kedua jempol ke hadapan kami.

Daffa memberi tepukan di bahu Kak Azhar yang terlihat sedikit syok dengan tingkah lakunya sendiri dan teman di sebelahnya itu. Ah, tapi aku penasaran antara Daffa dan Kak Azhar ini. Mereka terlihat akrab sejak pertemuan pertama di Pramuka. Apa mereka sebenarnya sudah saling kenal sebelumnya? Tapi sepertinya aku tak perlu ambil pusing, toh nanti bakal tau sendiri. Meskipun tidak juga tidak masalah karena itu hal yang tak penting bagiku.

Kacamataku terus-terusan saja berembun. Jadi, kuputuskan untuk mengambil sebilah kardus terdekat dan menjadikannya kipas untuk menghilangkan embun itu meskipun sangat merepotkan. Karena ketika embun sudah hilang, akan muncul lagi setiap kali mengembuskan napas. Masker medis hitam yang kupakai ini mungkin tidak cocok untuk tipe wajahku yang cenderung bulat.

Pandanganku terangkat untuk melihat ke arah gelapnya langit sambil menayangkan pertanyaan di otak bahwa kapan berhentinya hujan deras ini? Perutku sudah lapar dan raga yang lelah ini ingin cepat pulang.

"Pengikut Azhar, guys! Pengikut Azhar!"

Kamera ponsel yang sedang digenggam Daffa terarah kepada kami. Aku menatapnya tak suka. Jadi, kututupi saja seluruh wajah dengan sebilah kardus digenggaman. Entahlah mengapa hari ini mood-ku sedang tidak baik. Banyak kemungkinan-kemungkinan yang terbayang di pikiran namun yang pasti adalah karena perut kosong.

Selang beberapa menit akhirnya awan kehabisan hujannya. Satu per satu dari kami mulai meninggalkan tempat duduk. Aku dan Mbak Safira pun ikut menyusul teman-teman yang justru bingung harus ke mana dan apa.

Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Boleh pulang?" atau "Mana makananku?" terdengar bersahutan. Bahkan mereka saling menanyakan satu sama lain dengan pertanyaan yang sama. Kemudian menertawakan tingkah mereka sendiri. Aku yang mendengarnya ikut tertawa namun, tidak dengan Mbak Safira. Gadis itu terlalu kalem sehingga terkadang setiap berdampingan dengannya aura kalemnya seperti menyelimuti tubuhku agar sifat girangku tidak ke luar.

Kami pun akhirnya dapat info dari Nur bahwa sang pembina menyuruh berkumpul di depan pionering berbentuk kapal untuk mengambil gambar di sana. Meskipun mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membuat mahakarya sebesar itu tetap saja aku berterima kasih karenanya telah membuat kami semakin akrab dan kompak setelah melalui satu tahun yang datar dan ala kadarnya.

'Satu tahun yang datar dan ala kadarnya' itu mampu mengubah keanggotaan di dalam Pramuka. Termasuk Anni. Gadis yang lebih pendek daripada tinggi badanku itu mengatakan bahwa fisiknya tidak cukup kuat untuk mengikuti setiap kegiatan Pramuka. Sangat disayangkan sebab aku sudah terlanjur suka dan kagum padanya. Bagaimana tidak, dia orang yang sangat ramah, senang bercanda dan menurutku kami berada di frekuensi yang sama, pintar dalam menjawab soal Bahasa Inggris, dan sangat lucu serta menggemaskan setiap melihatnya berjalan.

Namun, karena dia ke luar dari Pramuka aku jadi jarang bertemu dengannya. Padahal aku berharap kami bisa jadi teman dekat.

Ya, apa boleh buat.

Bisakah mereka yang di depanku ini menunduk sedikit? Tubuh pendekku ini tak cukup kuasa untuk sekadar memperlihatkan diri di depan kamera. Apa mereka tidak sadar bahwa ada makhluk sekecil ini berdiri di belakang?

Semua sudah siap dengan pose masing-masing yang membuatku gelagapan mencari spot kosong untuk sekadar terlihat. Untungnya ada yang sadar dengan keberadaanku lalu ia menundukkan badannya. Meskipun harus berjinjit, akhirnya aku bisa berpose dan kamera berhasil mengabadikan momen ini.

"Foto bertiga, yuk!" Melihat Rara yang sudah menggaet lengan Mbak Safira setelah sesi foto di depan kapal selesai membuatku mengangguk menyetujuinya. Dengan langkah berirama kami pun berdiri di depan spanduk dengan nuansa hijau itu. "Eh, Aldan. Bisa fotokan kami?"

Si pemilik suara halus itu tanpa pikir panjang menengadahkan telapak tangan kanannya. Rara segera menyerahkan ponsel Mbak Safira kepada Aldan dan kembali ke tempat untuk berpose.

"Satu, dua, tiga. Satu, dua, tiga. Satu, dua, tiga."

"Eh, jangan gitu dong! Kami belum siap, nanti malah jadi aib!" Protesan Rara direspons oleh Aldan dengan kekehan yang menurutku lucu hingga ikut tertawa.

"Ya, kan biasanya begitu. Kalian saja yang banyak mikir, gimana gayanya, gimana gayanya. Ujung-ujungnya juga jempol sama dua jari. Meh." Sindiran Aldan membuat kami tertawa. Lelaki itu selalu saja berbicara dengan nada yang bisa mengundang tawa.

"Tapi yang bener dong!" sungut Rara yang diakhiri dengan kekehan. Mbak Safira dan aku yang menyaksikan hanya bisa tertawa pelan sembari menutup mulut dengan satu tangan.

"Ye," balas singkat Aldan sembari mengangkat posisi kamera ke arah tiga orang di hadapannya itu.

"Eh, cepat kumpul di depan kelas X IPS 1. Kalian mau dapat nasi apa enggak?" Suara instruksi dari Kak Azhar membuat kami lekas behamburan. Rara segera meminta ponsel Mbak Safira dari tangan Aldan. Lelaki itu menyerahkan begitu saja sembari pandangannya mengamati pergerakan orang-orang yang berada di depan kelas X IPS 1.

"Nah kan, fotonya blur."

Aku bersama Mbak Safira dan Rara berjalan santai menuju tempat tujuan, mengambil alih ponsel yang Mbak Safira genggam dan melihat hasil foto yang dikeluhkan oleh gadis itu. Kualitas foto itu memang tidak ada yang bagus.

"Aldan ngefotoin nggak bener, ih."

Keluhan Mbak Safira membuatku mengernyit. "Tapi ini bagus, aesthetic. Nanti kirim ke aku ya, Mbak?" Mendapat anggukan dari gadis itu membuatku tersenyum dan mengembalikan ponsel miliknya.

"Ambil satu ya guys, jangan curang." Pemuda yang baru saja berucap seperti itu seharusnya dihadapkan dengan cermin. Lihatlah dia yang membawa dua kantong berisi nasi bungkus.

"Kakak sendiri ambil dua, berarti aku juga boleh." Daffa yang hendak menarik satu kantong lagi lekas dicegat oleh Kak Azhar.

"Nggak boleh curang. Kau cuma ikut satu organisasi. Makanya kayak aku dong, dua!" Dengan bangganya Kak Azhar memperlihatkan dua kantong itu ke hadapan Daffa. Lelaki itu hanya bisa tertawa meringis bahwa yang dikatakan oleh kakak tingkatnya itu benar adanya.

"Tapi Kakak pakai baju Pramuka. Berarti posisi Kakak di sini sama saja kayak kami." Seorang gadis yang protes dengan wajah candanya membuat Kak Azhar berdeham kehabisan kata-kata. Aku tersenyum menahan tawa melihatnya. Tingkah mereka ini benar-benar selalu membuatku merasa aman dan nyaman.

Gadis yang memprotes itu merebut satu plastik kantong dari Kak Azhar.

"Eh, jangan kau ambil!"

Lihat selengkapnya