Pikiran itu bergelayut di dalam benaknya dokter lajang itu. Yang dipikirkan Salman adalah Hamidah, teman semasa SMA-nya yang sudah lama berpisah dan tak pernah bertemu lagi sejak lulus SMA. Saat lulus kuliah pun, usahanya menemukan perempuan itu nihil. Hamidah kabarnya bekerja di luar pulau.
"OK, Dok! Segera kita siapkan operasi malam ini juga! Segera hubungi dokter anestesi! Jam berape bisa mulai?" pinta dokter Salman tegas dan cekatan, dengan logat Melayunya yang juga kental.
Dokter Salman yang tinggal di rumah dinas para dokter dan tenaga kesehatan rumah sakit, yang tak seberapa jauh dari rumah sakit, segera memastikan kondisi Hamidah yang terbaring di IGD. Segera dikenakannya baju seragam putih, lengkap dengan stetoskop yang mengalung di leher, serta sebuah USG Doppler portabel. Daun pintu rumah sempat mencium dinding saat dibuka. Lalu cepat dikuncinya pintu itu. Kecepatan langkahnya mengganda dari biasanya, bahkan cenderung berlari. Napasnya menderu, debar jantungnya pun mulai terasa lebih cepat dari normal.
"Semoga bukan Hamidah!" gumamnya saat memasuki lorong-lorong rumah sakit yang panjang dan sangat redup. Bunyi napasnya terdengar saat menarik dan mengeluarkan udara dari paru-parunya.
Tak sampai sepuluh menit, Salman sudah tiba di IGD. Memastikan dengan baik identitas pasien, lalu memeriksa Hamidah dengan seksama.
"Ibu Hamidah?" tanyanya pada sosok perempuan hamil dengan kerudung biru, yang setengah sadar.
"Ibu Hamidah?" tanyanya lagi lebih keras, untuk memastikan kesadarannya penuh atau tidak.
Hamidah tersentak dari tidur dangkalnya, yang agak miring ke sebelah kiri, membelakangi pintu.
"Iye, Pak Dokter," jawabnya lemah.
Hamidah yang tadinya sedikit membelakangi Salman kemudian pelan-pelan memutar sumbu tubuhnya ke arah yang bertanya. Matanya kemudian perlahan membuka. Cahaya masuk melewati pupil matanya, menyaksikan orang yang baru menyapanya dalam jarak dekat. Sosok itu sangat dikenalnya dari raut wajah. Tak berubah sejak dulu, hanya tampak sedikit lebih dewasa dan tubuh yang cukup berisi. Salman dengan debaran jantungnya yang masih berkobar menunggu dengan harap-harap cemas. Apakah betul Hamidah yang ada di pikirannya tadi.
"Bang Salman?" tanyanya sambil menyipitkan mata untuk memastikan ketajaman pandangannya. Cahaya lampu pun cukup menyilaukan sosok bertubuh atletis dan klimis itu. Hampir saja Hamidah tak mengenalnya.
"Hamidah? Hamidah Husein?" tanyanya juga. Salman sumringah dengan deretan giginya yang rapi dan putih bersih. Ia bagai baru saja menemukan orang yang dicintainya setelah lama sekali tak bersua. Salman pelan-pelan mendekat.
"Iye, Bang. Ini Midah. Abang tugas di sini?" jawabnya, lalu kembali meringis kesakitan memegang perutnya. Tetapi Hamidah merasa belenggu di jiwanya sedikit demi sedikit terlepas setelah bertemu Salman, orang yang pernah dikaguminya.
"Iye, Midah. Abang tugas di sini. Masya Allah, Midaaah!!" balasnya dengan senyuman yang lebar, mengubah posisi kumisnya yang tipis. Matanya sedikit terbelalak. Lubang hidungnya yang mancung agak mengembang.
"Sakit, Baaaang!" rintihnya.
"Eh, iya Midah!" Tiba-tiba ia tersentak karena rintihan itu. Menggugurkan rasa gembiranya yang mulai bersemi.
"Abang periksa dulu ye." Ia bergegas berdiri, lalu memeriksa perempuan yang sangat dikenalnya itu.
"Hhmmm… Suamimu, mane, Midah?" tanyanya pelan dan penuh ragu, sambil memeriksa Midah yang kembali terpejam. Sebetulnya Salman merasa berat menanyakan kabar lelaki itu.