RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #3

DERMAGA

Byuurr!

Salman tergeragap. Debur ombak yang menghantam dermaga di Pelabuhan Sedanau, membuyarkan lamunannya. Baru saja pemuda yang lahir tepat di hari kemerdekaan 17 tahun lalu itu, menatap ke laut lepas yang berbatas langit sore yang membiru, dan cakrawala. Awan-awan putih yang biasa menggantung, kini bersih terbawa angin Selat Karimata. Suara deru angin sangat jelas terdengar. Berhembus di sekitar dermaga dan membelai daun telinganya sehingga terasa sejuk. Ombak yang kuat menghempas tiang-tiang beton dermaga mampu menghentikan angannya tentang salah satu panglima perang dari Persia. Ia ingin menjadi Salman Al Farisi yang tangguh dan masyhur di panggung sejarah dunia abad ke-6. Ia juga membayangkan kisah keperkasaan Sultan Mehmed II yang sukses menaklukkan Istanbul di usia sangat muda, 21 tahun.

Tak lama, sejauh matanya memandang, burung-burung camar lalu terbang menghiasi langit, berpadu dengan cuitan-cuitan mereka yang melengking. Menambah rasa damai di hati Salman. Tak jauh dari dermaga, ia melihat tiga buah pompong, suatu kapal penangkap ikan berbentuk rumah kecil, terparkir mengapung. Tak bergerak menjauh karena terikat dengan seutas tali ke beton pancang dermaga. Menatap jauh di belakang burung-burung itu, Salman memicingkan matanya, berharap ada kapal yang mendekat. Di pelupuk matanya, lalu tampak sebuah kapal kecil yang semakin lama semakin nyata. Salman gembira, berhias senyum dari bibirnya yang tipis. Ayahnya berada di dalam kapal itu, baru pulang melaut sejak dua minggu lalu.

Salman yang bertubuh kurus dan cukup tinggi, merasa cukup kuat membantu ayahnya melaut atau menambah penghasilan keluarga dengan bekerja, meski tergolong ringan. Sejak duduk di kelas dua di SMA Negeri Sedanau, ia mulai membantu ayahnya mencari nafkah untuk keluarga. Pukul tiga sore setiap hari sepulang sekolah, dia membantu Pak Darwis sebagai pemilik kedai di pasar dekat dermaga Sedanau, untuk berjualan ikan. Ribuan kilogram ikan yang berbagai macam jenisnya datang setiap awal pagi atau sore menjelang malam, dari nelayan yang menangkap ikan di Selat Karimata atau sekitar perairan Natuna. Ikan-ikan itu ditampung dan dijual ke seorang penampung alias bos besar. Selanjutnya ikan-ikan akan didistribusikan ktoko-toko di sekitar dermaga atau dijual ke pedagang ikan di seluruh kecamatan bahkan diekspor ke luar pulau.

Suasana dermaga cukup ramai dengan suara mesin kapal motor pengangkut ikan dari perairan yang mulai berdatangan. Berpasang-pasang kaki menapaki jalan dermaga yang terbuat dari kayu. Menimbulkan suara seperti kletek-kletek. Salman yang biasanya standby di kedai Pak Darwis sejak setahun terakhir sebagai karyawan, kali ini menyambangi tepi dermaga dengan sepatu boot hitam, untuk menyambut ayahnya, Tarmizi. Baju kaos oblong yang disandangnya setiap berjualan ikan tampak lusuh dan berbau amis. Wajah dan kulitnya yang berwarna gelap, kontras dengan gigi-giginya yang putih dan bersih saat tersenyum menyambut sang ayah. Dia berlari pelan, dan bertambah sumringah melihat sosok ayahnya yang kini mendekat.

Namun, semakin dia mendekati, keningnya mengernyit dan cemas.   

“Ayah ngape, Yah? Muka Ayah pucat, nih,” tanya Salman kepada ayahnya sambil menyambut kedua tangannya keluar dari kapal. “Hati-hati, Yah. Nanti jatuh ke air,” tambahnya dengan logat khas Melayu, yang mirip dengan gaya bicara di negeri jiran, atau Melayu Deli dan Riau.

“Tak ape-ape, Salman, Ayah baek-baek jak,” jawabnya dengan napas terengah-engah. “Mungkin Ayah cuma kelelahan. Tadi malam ada badai di laut. Jadi kami ramai-ramai menjaga kapal supaya tidak karam,” tambahnya.

“Tapi Ayah sesak nampaknya, nih. Tengoklah napas Ayah ni, laju benar bunyinya.”

“Iye, sesak sikit jak. Tadi malam habis badai sudah tenang, Ayah batuk cukup kuat. Jadi tak bise tidok lah.”

“Ayaah. Udahlah. Kalau Ayah lelah istirahat dulu. Ndak usah melaut dulu.”

“Macam mana kalau Ayah tak melaut, Salman. Nak makan ape kita di rumah, Nak. Tangkapan ikan yang sekarang pun tak terlalu banyak.”

“Biar Salman jak yang gantikan Ayah melaut. Kan Salman dah besar.”

“Jangan, Salman. Kau sekolah saja dulu. Kan kau juga bisa bantu-bantu Pak Darwis di kedai ikannya. Cukuplah gaji kau tu untuk bantu-bantu Ayah dan Emakmu di rumah. Kalau Ayah dan Emak masih ade uang, kau tabunglah uang gaji kau, tuh.”

“Tapi, kan, Ayah sakit. Nanti kalau terjadi ape-ape, kasihan Ayah dan Emak. Malah Ayah tak bise kerje same sekali, kan.”

“Udah, Salman. Jangan terlalu kapikirkan Ayahmu ini. Tugasmu kan memang belajar.” Salman cemberut, tak terima atas protes kepada ayahnya.

“Udah, Salman, Jangan kau pikirkan lagi itu. Cukup kau sekolah yang benar. Habis itu kerje bantu Ayah dan Emak kau. Tak perduli kau nak jadi ape pun. Yang penting bise kuliah dan kerje. Jangan macam Ayah nih. SMA jak tak lulus. Ayah dulu malas sekolah.”

Salman termenung mendengar nasihat ayahnya.

Lihat selengkapnya