RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #4

KEPAK SINGKAT TERBANG HENDAK TINGGI

“Hah, cepat kau layani mereke, tuh. Kau mau jadi menantu yang baek, kan?” ujar Darwis, sambil tersenyum simpul.

“Pak Long cakap ape?” tanya Salman, dengan wajah yang mulai memerah.

“Jantung hati kau kan dah datang. Jangan sie-siekan kesempatan!” ajak Darwis, berbisik pelan. 

Salman mulai gugup. Hamidah yang berparas Melayu dan bersinar diterpa sinar matahari mulai membuat hati Salman gaduh. Tremor ringan terlihat dari tangannya yang bergetar ringan menanyakan keperluan Hamidah dan ibunya.

“Ade ke tenggiri ke, Man? tanya ibunda Hamidah. ”Tolong potong dan bungkuskan. Dua kilo, jak.”

“Ade, Mak Cik.”

Salman mengambil lima ekor ikan seukuran setengah lengan orang dewasa. Dimasukkannya ikan yang segar-segar itu ke dalam plastik lalu ditimbangnya sebanyak dua kilogram lebih. Gugup.

“Pilihkan Midah yang cantek-cantek ikannye ye, Bang,” pinta Hamidah.

“Pastilah, Midah. Abang tambahkan sikit ikannye. Tak apelah dua kilo lebih.”

“Eh, tapi itu bukannya ikan tongkol, Bang? Lain rupenye.”

Salman terperanjat dalam sekejap. Karena terlalu gugup, dia salah memilihkan ikan untuk Hamidah. Denyut jantungnya justru berpacu lebih kencang.

“Astaghfirullah. Maaf ye, Hamidah.” Salman merasa bersalah.

“Makaseh, lah. Baek benar Abang nih,” puji Hamidah. Emaknya senyum-senyum, termasuk Salman yang mulai tersipu.

Setelah selesai bertransaksi, Salman tak segera mengalihkan pandangannya dari sosok Hamidah yang kini menjauh dan memunggunginya. Sesekali Hamidah menengok ke belakang, menatap jauh Salman yang terlihat tampan dengan matanya yang cukup sipit.

Salman lalu membuang sarung tangannya, dan mencium kedua telapak tangannya yang berbau amis. Segera dibersihkannya dengan sabun.

“Betul kate Pak Long. Ayah harus segera dibawa ke Ranai. Di sana setau saye dokternya lengkap. Ade dokter penyakit dalam juga yang bisa menembuhkan Ayah,” ungkapnya di hadapan ayahnya dan Pak Darwis.

“Ape kate aku, Ji. Salman jak semangat nak bawa kau berobat ke sana. Kenapa pula kau yang malas,” timpal Pak Darwis.

“Bukan saye tak mau, Bang. Saye ni malas minum obat banyak-banyak,” kilah Tarmizi.

“Tak ape be, Yah. Biar cepat sembuh batuk Ayah, tuh. Kalau ternyate ade sakit berat di paru-paru Ayah, macam mane? Kami juga nanti yang susah.”

“Hahaha, dah cocok kau jadi dokter, Salman,” canda Pak Darwis. Mereka semua bertawa ringan.

Lihat selengkapnya