RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #5

SEDANAU Bagian Satu

Setibanya di rumah mungil dan sederhana, di tepian laut yang menghadap pulau besar Natuna, Tarmizi kembali batuk-batuk keras. Salman bahkan memapah ayahnya itu hingga bisa duduk dengan tenang di kamar. Tarmizi bahkan sempat mengeluarkan darah dari mulut, hingga mencemari saputangan putih yang ia bawa sejak melaut. Nuraini, memberikan minuman herbal hangat yang biasa digunakan orang-orang di Sedanau untuk menghilangkan batuk, berupa air rebusan daun pegagan yang sudah ditumbuk sebanyak dua helai.

"Pahit sekali!" keluh Tarmizi, sambil meringis.

"Biar Abang cepat sembuh," ujar Nuraini, dan disaksikan Salman di depan mereka. "Sudah saye siapkan sejak lama, Bang."

Keesokan harinya, Salman terpaksa ijin tidak masuk sekolah. Dengan menggunakan ferry ASDP berkapasitas 50 orang, dia dan Tarmizi menyeberang pulau ke Ranai melalui Pelabuhan Binjai sekitar 45 menit. Dengan naik ojek motor mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke Ranai selama 30 menit. Setelah melalui serangkaian pemeriksaan di PUSKESMAS Sedanau lalu berlanjut ke RSUD Ranai, Salman yang juga turut membawa ayahnya ke Spesialis Penyakit Dalam di RSUD, akhirnya mengetahui penyebab batuk ayahnya yang sangat mengkhawatirkan. Dia melihat banyak bercak-bercak putih di hampir seluruh lapangan paru-parunya, melalui gambaran di kertas film Rontgen paru-paru. Hasil pemeriksaan dahak Tarmizi pun menunjukkan bakteri basil tahan asam yang positif. Penyakit TBC mulai menggerogoti.

           “Ingat ye, Yah. Jangan bolong-bolong minum obatnye. Setiap hari selama dua bulan pertama lalu lanjut empat bulan berikutnya,” ujar Salman menirukan instruksi dokter.

Mereka berdua berbincang di dalam pompong berwarna biru, senada dengan warna langit sore hari yang cerah. Di sekeliling mereka laut lepas, berbatas cakrawala. Kapal bermotor serupa rumah itu memiliki panjang delapan meter dan lebar dua meter. Ia begitu tangguh membawa mereka pulang ke Sedanau, dari Pelabuhan Sinjai. Angin di tengah selat cukup kuat sehingga gelombang mampu mengombang-ambingkan pompong itu. Pecahan gelombang berwarna putihan menghempas-hempaskan sisi depan dan kiri. Sesekali Salman dan ayahnya terhuyung mengikuti ayunan kapal yang menembus gelombang yang cukup tinggi. Lantas berpegangan di tempat duduk kayu.

           “Biar Salman dan Emak yang nanti jadi Pengawas Minum Obat-nye, dan dibantu pihak PUSKESMAS untuk memantau,” tambahnya.

           “Iye, Salman. Mudah-mudahan bise cepat sembuh batuk Ayah, nih,” balas ayahnya yang mengggunakan masker, diselingi batuk-batuk yang masih kuat.

           “Sakit ape Ayah kau, Salman?” tanya Hafsah, tetangganya di kampung. Perempuan paruh baya itu duduk di belakang mereka, membawa banyak belanjaan dari Sinjai.

           “Sakit paru-paru, Mak Cik,” jelas Salman.

           “Kenape pula harus ke Ranai? PUSKESMAS Sedanau tak bise ke? Ade dokter kan di sana?”

           “Ade, Mak Cik. Tapi sedang pelatihan di Batam. Dan pemeriksaan lanjut untuk memastikan jenis penyakit Ayah, harus dilakukan di rumah sakit Ranai.”

           “Oh, baeklah. Semoga cepat sembuh, ye, Salman, Ji.”

           “Makaseh, Hafsah,” jawab Tarmizi diselingi batuk-batuk kecil.

           “Jadilah kau dokter atau perawat, Salman. Supaye ade yang bise ngobati Ayah kau, dan warga Sedanau kalau sakit,” usul Hafsah.

           “Insya Allah, Mak Cik. Doakan jak saye bise,” jawabnya sembari tersenyum.

           “Amiin. Mak Cik doakan kau. Kau anak baek, semoga Allah mengabulkan.”

           “Makaseh, Mak Cik,” jawabnya lagi dengan tetap menyunggingkan senyum yang tipis.

           Matahari senja di ufuk barat masih setengah jalan untuk menerpa cakrawala. Salman dan para penumpang pompong sampai di pesisir Sedanau. Salman dengan hati-hati memapah ayahnya keluar menuju dermaga beton yang menjorok ke luar teluk.

           “Salam untuk Emak-mu, ya, Salman,” pungkas Hafsah ketika mereka akan berpisah ke arah yang berbeda.

           “Insya Allah, Mak Cik.”

           Salman mengambil sepeda ontel yang terparkir di kompleks dermaga. Sebelum beranjak ke Ranai pagi hari tadi, ia titipkan ke salah satu petugas ASDP. Dengan membonceng Sang Ayah, Salman mengayuh sepedanya itu dengan semangat. Bertambah cepat dua kali lipat kecepatan biasa yang perlu waktu sekitar sepuluh menit. Selepas waktu Ashar Pak Darwis pasti sudah menunggu di kedainya. Ikan-ikan hasil tangkapan sejak seminggu yang lalu sudah banyak berdatangan sejak siang hari.  

Lihat selengkapnya