Adik kelas mereka di SMA Sedanau itu tampak cantik dan muka yang merah merona dengan baju adat Melayu. Warna bajunya yang kekuningan dan kain songket hijau, berpadu indah dengan aksesoris gelang dan kalung yang terbuat dari bahan kuningan. Jilbabnya yang hijau muda membuatnya tampil jelita. Kemolekan wajah Hamidah memancarkan kegembiraan di wajah Haikal dan Salman. Namun, tidak dengan Abrar. Pemuda tambun itu cemberut di kejauhan.
“Hai, Hamidah!” balas Salman sumringah.
“Apa kabar kau, Midah?" sambung Haikal. Dia menenggak minuman teh manis.
“Alhamdulillah, saye baek-baek, Bang.”
“Syukurlah. Lomba tari jepin ke? Menang tak kelas kau?” tanya Salman lembut. Tersenyum. Malu-malu.
“Alhamdulillah, kelas Midah juara satu, Bang!” ungkapnya antusias. Tepuk tangan mengudara.
Priiiittt
Bunyi peluit sebanyak dua kali yang memulai kembali pertandingan voli babak kedua hampir memutus percakapan mereka bertiga.
“Memang hebat kau, Hamidah. Sudahlah pintar dan juara kelas, tari jepin pun kau pandai. Cocoklah nanti kau berjodoh sama Salman," ujar Haikal.
Salman dan Hamidah tersenyum simpul, saling berpandangan sesaat.
Haikal lalu berpamitan melanjutkan pertandingan. Kini tinggal mereka berdua bercakap-cakap di tengah riuh rendah sorak sorai penonton yang sangat ramai.
“Gimane Tanjung Pinang, Bang? Cantek ke?”
“Bagus sekali, Midah. Maju sekali disana. Abang minder jadinya nengok kepintaran budak-budak kote.”
“Hhmmm… Tapi Abang menang, kan?”
“Alhamdulillah, meskipun cuma meraih juara tiga," ungkapnya sambil tersenyum tipis.
“Alhamdulillah, tak apelah, Bang. Itu pun dah bagus. Sudah membawa nama baik Kabupaten Natuna.”
Salman beberapa hari sebelumnya baru pulang dari mengikuti Olimpiade Sains Bidang Biologi Tingkat Provinsi Kepulauan Riau di Tanjung Pinang. Ingin sekali dia mencapai juara terbaik, namun siswa dari Ibukota provinsi lebih unggul.
“Abang ade bawakan Hamidah oleh-oleh dari sana.”
“Waaah, ape tu, Bang?”
“Rahasia, hehe.”
“Ah, Bang Salman. Pakai rahasia-rahasia saja.”
“Hhmmm, cake pisang khas Tanjung Pinang dan bros cantik untuk jilbabmu.”
Hamidah senang bukan kepalang. Tak pernah dia merasa diperhatikan sejauh ini oleh siapapun.
“Tapi, Abang bawakan besok di sekolah, ya. Habis ini, Abang mau ke kedai Pak Long Darwis dulu. Sudah terlambat. Sementara ikan-ikan laut lagi banyak disana.”
“Iye, tak ape, Bang. Santai saja.”
Salman berpamitan dan meninggalkan Hamidah di tepi lapangan. Dia mengayuh sepedanya dengan bahagia dan hati yang berbunga-bunga. Mentari petang menambah jelas senyumnya yang sepanjang jalan selalu terkembang. Hamidah pun demikian. Tak menyangka ia ada di pikiran Salman saat di Tanjung Pinang. Rasa bahagia menyeruak memenuhi dadanya. Senyumnya terlihat indah sekali meski sosok Salman dan sepedanya sudah luput dari pandangan. Ingin rasanya melepas Salman lebih lama. Namun, Hamidah yakin besok hari masih ada waktu yang jauh lebih panjang untuk saling berdekatan.
***
Malam menggulung petang. Selepas kembali dari kedai, dan menunaikan salat Maghrib, Salman sudah siap mendengarkan siaran Warta Berita RRI Ranai pukul tujuh malam. Suara penyiar bersuara berat keluar dari speaker radio butut Salman yang tak jernih. Berbunyi kresek-kresek. Namun, menggema cukup kuat di dalam kamarnya yang sempit dengan lampu yang redup. Bukhari yang juga sekamar dengan Salman, sesekali mengganggu abangnya itu dengan mengalihkan tombol radio ke frekuensi lain.