RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #7

SEBUAH KEMENANGAN Bagian Satu

Salman yang malam sebelumnya berteriak meluapkan emosi setelah bertemu Abrar, akhirnya bisa tidur nyenyak. Meski masih terdengar batuk-batuk dari kamar ayahnya yang menganggu. Kini, matahari pagi mulai menyembulkan dirinya beberapa jari di atas cakrawala. Bunyi burung yang berkicau dan tampak beterbangan di laut lepas menambah segarnya suasana pagi di pesisir Sedanau. Sesekali Salman menikmati pemandangan itu, ke arah laut lepas. Ia pun bersiap berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki. Sepedanya dibawa Dayah sambil membonceng Bukhari ke sekolah mereka.

Dia tak lupa membawakan oleh-oleh seperti yang diutarakannya kepada Hamidah di pinggir lapangan kemarin. Buah tangan yang khusus ia siapkan dari Tanjung Pinang, namun belum berani ia sampaikan. Cake pisang itu tercium harum, senada dengan udara pagi yang menyegarkan. Juga bros cantik berbentuk kupu-kupu, berwarna silver dan bertatah beberapa kristal. Berkilau indah diterpa cahaya matahari pagi yang tanpa permisi masuk ke kamarnya. Salman masih terngiang terus tentang sosok gadis cantik itu. Tak seperti biasanya yang merasa biasa saja ketika bertemu di sekolah. Dibungkusnya dua buah bros menawan itu dengan plastik bening, lalu sambil tersenyum ia bungkus kembali dengan kertas kado berwarna ungu. Diselipkannya sebuah kertas bertuliskan UNTUK BROS HIJABMU.

Setelah berpamitan dengan kedua orangtuanya, Salman berjalan ke sekolah lebih cepat dari biasanya. Berjalan dengan tempo santai, waktu yang ditempuh Salman ke sekolah sekitar 15 menit. Kali ini, dalam sepuluh menit, melewati deretan pohon kelapa yang menjulang di tepi jalan raya, Salman tiba di SMA Negeri Sedanau saat siswa masih belum semuanya hadir. Setelah menaruh tas di bangku kelasnya 3 IPA 1 yang terletak di lajur tengah kiri, dia bergegas menuju ruang kantor sekolah. Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan, Pak Zulkifli, dan guru sejarah, Pak Anwar, yang mengajaknya bertemu sebelum jam masuk sekolah dimulai, sudah hadir.

“Assalamu’alaikum, Pak Zul, Pak Anwar,” sapa Salman sambil menudukkan kepala satu detik. Salamnya dibalas sempurna dan kedua guru itu mempersilahkannya masuk.

“Jadi, kamu sudah siap lomba kan Senin minggu depan, Salman?” tanya Pak Anwar. Salman mengangguk.

“Jadi atas keputusan rapat, kami sudah memutuskan dua orang pendampingmu. Lomba cerdas cermat ini sangat penting dan menarik karena tentang sejarah dunia dan nusantara. Saya tahu nilai kamu bagus sekali, Salman, untuk mata pelajaran sejarah. Lalu pendampingmu pun harus yang pintar menghafal juga, yaitu satu orang dari kelas 3 IPS 1, Khairul, dan satu lagi dari siswa kelas dua.”

“Alhamdulillah. Jadinya siapa, Pak, yang dari kelas dua?” tanya Salman penasaran.

“Murid kesayangan kita semua yang sudah banyak prestasinya bagi sekolah ini,” senyum Pak Anwar.

Salman merasa kenal dengan petunjuk yang disampaikan.

“Hamidah Husein,” jelas Pak Anwar. “Mereka berdua juga sudah kami kabari.”

Seketika wajah Salman memerah merona. Dugaannya tepat. Senyumnya pun mengembang. Tetapi segera ia tertunduk, menyembunyikannya dari hadapan para guru itu.

Lihat selengkapnya