RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #10

SELEKSI Bagian Satu

Perlombaan cerdas cermat di Tanjungpinang, tiga bulan sebelumnya memberi kesan mendalam. Apalagi Hamidah selalu berada di sampingnya. Namun, Salman harus berhadapan dengan UAS yang tak kalah menegangkan dan menjadi titik tolak masa depannya. Selepas menyelesaikan Ujian Akhir Sekolah (UAS) seminggu sebelumnya, siang itu Salman resah dan bingung. Di sekolahnya sepi dan hening. Hanya tampak beberapa orang guru dan staf administrasi di ruangan mereka masing-masing. Ia mondar-mandir di depan ruang wakil kepala sekolah bidang kesiswaan. Sebelumnya dia sudah bertemu Bu Ratna, guru Bimbingan dan Konseling. Berkonsultasi tentang rencananya melanjutkan kuliah. Satu-satunya pilihan adalah ke UNTAN. Lewat jalur beasiswa PEMDA Natuna yang sudah berjalan sejak tahun lalu. Salman ingin sekali menjadi seorang dokter yang programnya sudah berjalan memasuki tahun kedua ini. Seleksinya baru akan dimulai. Bu Ratna yang pernah menangani perihal tersebut mengijinkan Salman ikut seleksi. Tapi beliau tahu seleksinya sangat ketat, dan tahun lalu tak ada satupun yang lolos dari SMA Sedanau, bahkan ke seleksi tahap pertama. Umumnya yang lolos adalah siswa dari perkotaan yang sudah maju seperti Ranai, Midai, dan Bunguran.

            “Boleh kamu ikut seleksi, Salman. Ibu lihat nilaimu juga bagus-bagus dan memenuhi syarat. Tapi jangan kecewa jika kamu nanti gagal,” ungkap Bu Ratna. 

            Salman tak patah arang. Dia yakin bisa lolos ke tahap dua, yang akan dilaksanakan langsung di UNTAN, Pontianak. Bu Ratna memintanya langsung menghadap Pak Zulkifli.

            Sudah satu jam lebih mondar-mandir, yang ditunggu Salman tak kunjung tiba. Siswa-siswa sudah berhamburan merayakan selesainya UAS. Ada yang bertamasya ke Ranai, Pulau Tiga, dan Pontianak, serta ke Batam atau Tanjung Pinang. Derap langkah sepasang kaki kemudian menyadarkan Salman yang tertegun lemah di depan lapangan upacara di dekat ruang kantor Pak Zul.

            “Salman? Salman Adiputra?” sapa beliau. Salman cukup tersentak.

            “Oh. Alhamdulillah, Pak Zul,” jawabnya, lalu mencium tangan beliau.

            “Kamu ada perlu dengan Bapak? Tak biasanya kamu begini.”

            Salman menjelaskan keinginannya dengan panjang lebar setelah diajak masuk oleh Pak Zul ke ruangan beliau. Lelaki berumur 56 tahun itu menyambut dengan antusias.

“Kenapa kamu baru nyari Bapak sekarang? Untung masa pendaftarannya masih dibuka.”

            “Saya ragu, Pak. Karena tahun lalu pun tak ada yang lolos dari SMA kita.”

“Ya, tak ada salahnya mencoba. Bapak dukung. Semoga lolos dan mengharumkan nama SMA kita nanti, ya.”

Lihat selengkapnya