Namun, dia tak patah semangat. Soal Biologi dan Bahasa Inggris diselesaikannya terlebih dahulu. Dilahapnya dengan cepat dari seluruh soal yang berjumlah 120 buah, dan dikerjakan dalam waktu 120 menit. Tak cukup waktu untuk berleha-leha, apalagi ingin mencontek peserta lain atau membawa contekan. Pengawasannya super ketat. Dari pihak UNTAN dan dari pihak Dinas Pendidikan. Serta disaksikan oleh perwakilan guru dari masing-masing sekolah. Pengumuman hasil seleksi akan dilakukan mulai pukul dua siang di tempat yang sama. Salman menunggu hingga proses itu semua selesai, didamping oleh Pak Zulkifli.
Salman menanti dengan sabar hasil pengumuman tes seleksi, tepat pukul dua. Harapannya terlanjur tinggi, bisa memenangkan pertarungan, sehingga harus menyaksikan sampai penghabisan. Abrar pun tak kalah optimis. Semua siswa yang mengikuti seleksi pun punya harapan yang sama. Maju ke tahap dua dan menjadi mahasiswa kedokteran. Sudah terbayang di benak Salman, jika lolos dia akan mengarungi lautan, menuju Kota Khatulistiwa.
Pukul empat belas pemeriksaan hasil tes dimulai. Semua peserta harap-harap cemas. Berkas lembar jawaban mereka dipindai satu demi satu menggunakan mesin scanner khusus yang telah disiapkan oleh tim UNTAN. Disaksikan secara real time oleh panitia, peserta, petugas pemeriksa, dan pejabat PEMDA Natuna. Sebanyak delapan puluh lembar jawaban siswa pun hampir semuanya dipindai. Menyisakan satu lembar jawaban siswa terakhir. Scanner yang terhubung ke dalam sistem aplikasi seleksi milik UNTAN itu pun memindai lembar terakhir. Lalu memerlukan klik pada tombol OK. Bila perintah di sistem itu di-klik, daftar nilai dan peringkat siswa langsung terpampang melalui layar LCD di bagian depan Aula.
Pak Bupati mendapat kesempatan untuk meng-klik OK di layar komputer. Semua yang berada di ruang aula tegang, termasuk guru-guru. Nasib baik anak-anak mereka tinggal seujung jari dalam waktu yang supercepat.
“Sudah siap semua?’ tanya Pak Bupati ke seluruh hadirin.
“Siaaap!!” teriak mereka yang hadir.
Dengan diawali kalimat basmalah Pak Bupati menekan tanda OK? di layar Komputer. Salman tampak sangat tegang, sementara Abrar tampak biasa-biasa saja. Tak sampai lima detik, nama-nama yang lolos ke tahap dua terpampang jelas di layar putih.
“Selamat kepada peserta peringkat enam terataaaas!” seru pembawa acara.
Mereka yang disebut namanya itu, sebanyak enam siswa, lolos ke ujian tahap dua di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak, minggu depan. Satu per satu nama dan asal sekolah mereka disuarakan. Menggema di seluruh ruangan.
Semua tercengang. Tak terkecuali Salman dan Abrar. Merasa tak percaya tentang kenyataan yang ada di hadapannya. Peserta yang dinyatakan tidak lolos tertunduk lesu. Peserta yang lolos mencium dan memeluk guru pendamping mereka. Sesekali sayup-sayup terdengar tangisan haru, dan tangisan kegagalan. Salman berada di peringkat tujuh dan Abrar berada di peringkat sepuluh. Abrar spontan mengumpat hasil keputusan yang sangat objektif dan fair itu. Salman menepuk jidat dan mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Dia kecewa berat. Kecewa sekecewanya, bagai menyangka nanas di tengah padang, rupanya pandan berduri yang ia temukan.
Pak Zulkifli yang turut serta memintanya bersabar dan tak patah semangat. Semua sudah ada jalannya. Salman lalu keluar dari aula dengan langkah gontai. Galau. Jantungnya masih berdegub kencang. Hatinya pun masih sulit menerima kenyataan pahit itu.
“Ape kata aku tadi, Salman. Kita memang tak pantas duduk di situ. Sebetulnya bukan kita, tapi kau," sindir Abrar saat bertemu di pintu keluar.
Wajah Salman kaku dan membatu. Sorot matanya tajam ke arah Abrar. Abrar membalasnya dengan menyeringai. Namun, Salman tak memerdulikan Abrar. Ia biarkan pemuda itu menertawakan kegagalan mereka berdua. Kegagalan Salman, tepatnya. Salman pun langsung beranjak. Bergegas. Bersama Pak Zul yang memeluknya dari arah belakang, dia tinggalkan gedung yang pernah memberinya kenangan indah bersama Hamidah. Tapi kali ini, kenangan pahit menghunjam hati dan benaknya. Salman segera meninggalkan Ranai dengan harapan yang kandas.
***
Salman terpaku menatap cakrawala yang sebentar lagi akan lenyap digulung malam. Tatapannya kosong. Dia tertegun di bawah jendela surau yang sepi di tepi pantai. Melihat jauh ke laut lepas. Terdengar debur ombak membentur pancang kayu belian yang mengokohkan pondasi surau. Dia memegang sebuah kertas, Kartu Tanda Peserta Ujian Seleksi Penerimaan Mahasiswa Fakultas Kedokteran UNTAN Jalur Beasiswa PEMDA Kabupaten Natuna. Hening suasana petang menambah panjang lamunannya. Lalu, dia bergumam,
Mungkin cita-cita yang terlalu tinggi ini memang bukan jalanku.
Tapi aku kecewa.
Kecewa berlipat-lipat.
Tak dapat menggapai harapan walau tinggal seujung kuku.
Mungkin betul kata Abrar dan Pak Jamal. Aku memang tak layak menyandangnya. Dokter, atau apapun itu. Semua asa itu telah sirna. Lenyap dalam sekejap.
Maafkan Salman, Ayah, Mak, Dayah, Bubu. Salman gagal. Gagal membahagiakan kalian semua saat harapan itu ada di depan mata.
Salman gagal memberikan yang terbaik. Rasanya tak ingin kembali.
Salman malu, Mak, Yah.