RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #12

SEBUAH JANJI

Salman berjalan-jalan di tepi pantai meski panas terik terasa membakar kulit. Suara gelombang menghempas pantai ia nikmati dalam kesendirian. Di kejauhan di seberang Sedanau, dia lihat Gunung Ranai yang tinggi dan kokoh, serta tebing-tebing tepi pulau yang tegak berdiri meski dihantam gelombang. Salman ingin seperti ciptaan Tuhan yang Mahakuat itu berdiri tegap. Dia menyadari masa depannya masih panjang. Tak boleh cengeng. Harapan, jalan hidup, dan takdir yang ia punya terlalu sempurna untuk dihancurkan oleh sekedar seleksi beasiswa.

           “Salmaaan!” teriak Nuraini di kejauhan.

           Salman terkesiap. Menyaksikan ibunya ngos-ngosan mengejar dirinya. Salman lalu mencegah ibunya untuk berlari.

           “Jalan saja, Mak. Tak usah bergegas. Salman tak kemana-mana, nih,” teriaknya menyambut Nuraini yang mulai mendekat.

           Nuraini berhadapan dengan putranya itu, masih di tepi pantai. Mengabarkan sesuatu.

           “Ada apa, Mak? Sampai bekeringat pula Mak, ini,” tanya Salman heran.

           “Naseb baik Mak dengar hape kau ini berdering di kamar. Berkali-kali, Salman. Pak Zul nelpon kau, ini. Dari jam sebelas tadi, tak usai berbunyi sampai sekarang. Mak sempat jawab beliau. Tapi baeknya kau telpon balek ya, Nak.”

           Salman bertambah heran. Pasti ada sesuatu yang sangat penting. Padahal urusan sekolah sudah tak ada kelanjutan lagi.

           “Iye, Mak. Salman telepon beliau sekarang!”          

           Di sambungan telepon, Pak Zul mengabarkan berita bahwa Bapak Bupati membuat kebijakan baru terkait beasiswa yang kemarin seleksinya Salman ikuti. Orang nomor satu di Kabupaten Natuna itu berhasil membuat kesepakat dengan pihak UNTAN untuk meningkatkan kuota penerima beasiswa menjadi lima orang. Salman merasakan secercah harapan.

           “Jadi, Salman bisa ikut tahap dua di Pontianak, Pak Zul?” tanyanya penuh riang.

           “Iya, betul Salman! Dan semua peserta yang berhak sampai peringkat sepuluh, besok pagi ditunggu Pak Bupati untuk mendapatkan pengarahan lebih lanjut.”

           Seketika Salman langsung melepaskan ponselnya. Tak sengaja benda ajaib itu terjerembab ke pasir. Ia pun takjub dan langsung bersujud syukur di atas pasir. Dengan debu-debu pasir yang melekat di dahi, lengan, dan jari-jarinya, Salman memeluk erat ibundanya.

           “Salman jadi ke Pontianak, Mak!” Salman melompat-lompat rendah.

           Kalimat hamdalah lalu teruntai dari mulut dan hati dua anak beranak itu. Senyum mereka merekah sempurna.


***

           

           Salman dengan penuh sabar menunggu di kedai Pak Darwis. Seseorang yang sudah tak sabar ingin ia tumpahkan rasa gembiranya. Sore yang cerah dengan semilir angin tepi dermaga membuatnya euphoric. Salman sebenarnya tak ingin ke kedai jikalau kecewanya masih dalam tertanam. Namun, takdir berkata sebaliknya.

           “Midah. Sore ini kita ketemu di kedai Pak Long, ya.” Demikian bunyi SMS Salman kepada Midah selepas zuhur. Mereka berbalas-balasan.

Lihat selengkapnya