RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #13

HARAPAN DI TENGAH BADAI

Angin bergerak beringas. Menggulung-gulung apapun yang berada di hadapan. Meski gelap gulita, ia tak perduli. Seakan memiliki mata yang tajam. Hanya kekuatan yang mahakuat mampu menggerakkan. Ia juga menghempas-hempaskan diri ke sebuah biduk yang terombang-ambing di tengah lautan yang tak berbatas. Pemilik pompong yang malang itu sedang tertidur nyenyak di sebelah utara. Biduk dan awaknya yang berjumlah sepuluh orang, termasuk Tarmizi mempertaruhkan nyawa menembus hujan badai. Mereka berada di antara Pulau Subi dan Serasan, di arah timur laut ekor Pulau Kalimantan. Padahal pagi harinya, perairan Laut Cina Selatan itu sangat ramah. Tangkapan ikan para nelayan itu pun sangat banyak.

           Gemuruh badai terlalu kuat terdengar. Sanggup mengalahkan suara batuk-batuk yang dialami Tarmizi. Kesembilan nelayan yang dikepalai oleh Daeng Makkawaru, memang berniat membawa sahabat mereka sesama nelayan itu kembali ke Natuna. Namun, sebelum tiba di Selat Lampa, badai terlanjut menerjang. Tarmizi tak berani keluar dari rumah kapal karena batuknya memburuk.

           “Daeng! Pompong kita akan karam tampaknya, nih! Ombak tinggi nian!” teriak salah seorang nelayan.

           “Jangan sampai karam! Makanya kau bantu aku membuang air-air yang masuk ke dalam ini! Kalian juga semua, cepat bantu!” perintah Daeng.

           “Siap, komandan!” jawab semua awak serentak.

           Badai dan gelombang tinggi masih menerjang. Menggulingkan sebuah drum yang berisi berton-ton ikan tangkapan mereka selama tiga hari. Hampir saja tercebur ke laut. Tapi berhasil diselamatkan seorang awak. 

           “Jangan lupa kalian berdoa dengan Doa Nabi Nuh! Supaya cepat menjinak badai ini!” tambah Daeng dengan berteriak.

           Tarmizi yang berada di dalam rumah kapal hanya bisa duduk. Tak bisa berbaring karena napasnya mulai sesak. Batuknya sahut menyahut dan kuat. Baju putihnya ikut terpercik sedikit darah dari paru-parunya. Dia pun beristighfar, mengira-ngira apa yang terjadi dalam tubuhnya.

           “Kita mengarah kemana Daeng?”

           “Ke Sambas terlalu jauh. Kita ke Pelabuhan Penagi saja. Tak jauh dari Ranai. Tak perlu ke Sedanau. Tiba di sana, kita telepon ambulan minta jemput di dermana. Lalu langsung bawa Miji ke Rumah Sakit Ranai,” ungkap Daeng dengan suaranya yang besar, di atas kapal yang terombang-ambing.

           “Tak kuat aku mutar kemudi, nih! Berat! Gelombang terlalu tinggi!” keluh salah seorang awak dengan berteriak.

           “Kalian semua cepat bantu! Arahkan ke utara! Ke Pulau Subi!” perintah Daeng di tengah deru angin dan hujan yang mulai turun.

“Gelap, Daeng!”

“Jangan banyak cakap! Bisa kalian putar, tuh! Pakai akal kau!”

Semua mengiyakan perintah komandan mereka. Awak beramai-ramai memutar kemudi seratus dua puluh derajat dari arah tenggara menuju utara.

“Jangan terlalu cepat jangan terlalu pelan, Hei! Bisa tumbang pompong ni!” pinta Daeng.

Kemudi harus diarahkan perlahan tetapi pasti. Yang mereka lawan adalah gelombang perairan yang cukup ganas. Kemudi mereka dalam sekejap berhasil mengarahkan pompong ke utara.

Tak lama mengapung, badai pun berlalu. Awan yang di atas kepala mereka, sekejap cerah, sekejap kemudian kembali kelam. Begitu seterusnya, hingga akhirnya mereka berhasil melewati Pulau Subi. Dan akhirnya menabuh jangkar di Penagi pada pagi hari, setelah menempuh perairan selama sepuluh jam. Dari dermaga Pelabuhan Penagi, mereka naik ke daratan, memapah Tarmizi yang pucat dan lemah. Sambil menunggu ambulance, mereka pun istirahat di sebuah rumah kayu.   

           “Kau tak minum obat ke, Ji?” tanya Daeng.

           “Obat aku habis, Daeng. Tak sempat pula nak ke Ranai lagi karena memang harus kontrol ke sana,” jelas Tarmizi dengan napas yang cepat dan dalam.

           “Kau nih, bertingkah betul. Tak baek macam tuh. Kau minta antar kami-kami nih kan bise juga.”

           “Aku malas minum obat, Daeng. Enam bulan. Tak betah aku.”

Daeng meradang. Sekaligus kasihan melihat sahabatnya itu tampak sakit berat. “Masih kau merokok?”

           “Sudah lama berhenti, Daeng. Empat bulan lalu.”

           Ambulance tiba di tepi dermaga. Dua orang petugas rumah sakit berpakaian seba putih, menjemput Tarmizi dengan tandu dan tabung oksigen 1 liter. Selang oksigen berwarna hijau lalu dipasang di kedua lubang hidungnya, melingkar mengikuti lingkar kepala. Daeng terbaring tetapi beralaskan beberapa bantal untuk menghindari sesak yang masih kuat mendera. Dalam lima belas menit, mereka tiba di IGD RSUD Ranai.

            Ruang IGD RSUD riuh sekali dengan pasien, dan keluarganya. Empat pasien tampak sakit berat, terbaring di atas bed. Nurse station pun terlihat crowded dan sibuknya petugas kesehatan mondar-mandir. Tarmizi hampir saja tak kebagian bed. Beruntung ada pasien yang segera bisa rawat jalan. Dia lalu ditempatkan di bed nomor empat. Terbaring dengan posisi setengah duduk untuk mengurangi sesak. Batuknya pun masih terdengar sahut-menyahut. Selang oksigen tersambung di panel Central Medical Oxygen. Sesekali Tarmizi menghela napas panjang, di antara rasa sulitnya bernapas. Infus terpasang di lengan bawah tangan kanannya setelah ditusuk beberapa kali. Di sampingnya, Daeng berdiri. Hanya dia, pihak keluarga, yang diperbolehkan masuk.

           “Sabar, ye, Ji,” ujar Daeng

           “Sesak sekali napasku. Rasa mau mati,” ungkap Tarmizi terengah-engah.

           “Dokter segera periksa. Kau tenang saja.”

           Seorang dokter perempuan, mewawancara dan memeriksa Tarmizi dengan seksama. Meletakkan stetoskopnya di setiap jengkal tubuh Tarmizi dengan lembut dan teliti dan lama, terutama di daerah dada bagian depan maupun belakang. Lalu dengan pena bertinta hitam, data pemeriksaan ia tuliskan di sebuah catatan medik. Di balik masker sang dokter berbicara menjelaskan dengan lengkap penyakit yang dialami Tarmizi.

           “Penyakit TBC paru-paru kambuh, Pak. Tapi kita perlu konfirmasi ulang dengan pemeriksaan Rontgen setelah ini di ruang Radiologi,” ungkapnya.

           Daeng, dan Tarmizi dalam kondisi sesak mengangguk-angguk menerima instruksi dokter. Tak lupa sang dokter dan perawat memasang sebuah monitor yang terhubung ke tubuh Tarmizi. Untuk melihat nilai tekanan darah, laju pernapasan, laju jantung, gambaran rekam jantung, dan saturasi oksigen. Namun, profil yang terakhir tidak cukup membahagiakan sang dokter dan tim-nya. Mereka was-was berat. Kadar oksigen di dalam darah Tarmizi mengalami penurunan. Mau tidak mau, jumlah liter oksigen yang masuk ke rongga pernapasan harus dinaikkan ke level tertinggi.

           Satu jam berada di IGD, Tarmizi merasa nyaman saat bernapas. Lumayan melegakan. Tapi masih terlihat sesak. Tubuhnya lebih kurus dari sebelumnya. Wajahnya pun pucat pasi. Daeng tak tega melihat sahabatnya itu, yang tampak sakit berat.

Lihat selengkapnya