Pintu boarding menuju Bandara Supadio sudah hampir dibuka. Di ruang tunggu keberangkatan Bandara Ranai itu, tak terlalu riuh. Nuraini dan kedua anaknya, serta Darwis mengantar Salman hingga ke depan pintu masuk keberangkatan. Dalam dada Salman begitu bergemuruh. Berat meninggalkan keluarga, sekaligus haru dan masih terasa mimpi bisa berangkat ke kota khatulistiwa. Besok seleksi tahap dua akan dimulai. Juga bergemuruh karena harus meninggalkan Hamidah yang kini tersenyum berada di sampingnya, melepas kepergian Salman.
"Jangan lupa salat malam dan doa yang banyak ye, Bang. Sesulit apepun sepertinya di hadapan, selalu ada jalan," ungkap Hamidah. Salman mengangguk, seraya tersenyum.
"Betul kata Midah, Salman. Dan Allah selalu menyertai orang yang sabar dan bersungguh-sungguh," tambah Nuraini dengan mata yang berkaca-kaca.
Salman serta merta memeluk ibundanya itu. "Doakan Salman selalu ye, Mak," ucapnya lirih, lalu melepaskan dekapan.
"Terima kasih, Pak Long. Saya pastinye tak dapat membalas budi semue kebaikan Pak Long. Dayah, Bukhari, kalian jaga Emak baek-baek ye. Jangan kau nakal lagi ye, Bu. Bantu Emak di rumah." Darwis tersenyum dan ikhlas melepas Salman. Hidayah dan Bukhari mengangguk pelan.
"Dan kau Hamidah, jangan lupa juga salat malam. Mudah-mudahan tahun depan kau berhasil menyusul Abang ke Ponti."
Hamidah mengangguk, sambil mengulum kedua bibirnya menahan haru.
Salman dan penumpang lain sudah dipanggil untuk segera naik ke pesawat. Salman segera berpamitan dan mencium tangan Nuraini dan Darwis penuh takzim.
"Cepat sikit, Salman! Nanti kau ketinggalan pesawat!" Suara Abrar memecah suasana. "Hai, Hamidah!"
Tiba-tiba Abrar menerobos antrean, berlari dari luar antrean penumpang yang sudah berbaris rapi. Kini ia berada persis di depan Salman dan bersiap memberikan boarding pass ke petugas maskapai.
Dalam dada Salman semakin bergemuruh, namun hanya bisa menahan dongkol. Hamidah pun hanya bisa geleng-geleng kepala.
Mereka berdua sekarang berbaris rapi, berjalan pelan sesuai antrean penumpang. Abrar berbisik-bisik pelan. Tatapannya ke arah depan, tapi sesekali mencondongkan tubuhnya ke belakang ke arah Salman.
"Semoga kau cukup tidok tadi malam, Salman. Tapi percuma juga kalau kau sampai tidur larut. Kau takkan bise lolos juga karena soalnya pasti lebih sulit dari tahap satu." Salman membisu. "Salman! Kau pekak ke ape? Sombong sekali kau tak jawab pertanyaan aku!" ujar Abrar cukup emosional. Salman bergeming, dan asyik melihat ke kanan dan ke kiri.
"Salman!" sapa Abrar lebih keras.