RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #15

AWAK DATANG KAMEK SAMBOT

Awak datang kamek sambot

Kecik telapak tangan, nyiru kamek tadahkan


Pepatah Melayu itu sesekali terdengar oleh Salman dari pembicaraan orang-orang, saat pertama kali menginjakkan kaki di Pontianak. Kota yang berada di titik nol garis lintang bumi. Suasana budaya Melayu, tak terasa asing ia rasakan karena mirip dengan budayanya di Sedanau, atau Ranai. Namun, budaya Tionghoa dan budaya Dayak menarik minatnya, karena ketiga etnis tampak harmonis berbaur walaupun baru beberapa hari ia menginjakkan kaki di kota khatulistiwa itu.

Setelah memenangi kompetisi paling menegangkan sepanjang hidupnya, Salman tak henti-hentinya bersyukur. Juga tak bosan mengabarkan rasa gembiranya kepada Nuraini, Darwis, dan Hamidah tentunya.

"Selamat ya, Bang!" ucap Hamidah di ujung telepon hampir setiap malam, sebelum Salman tidur.

"Jaga kesehatan ya, Nak. Jangan kau pikirkan masalah biaya hidup. Emak siap selalu mengirimimu uang," pinta Nuraini pula, beberapa hari sebelum Salman memulai kegiatan kampus untuk pertama kalinya.

Sambil menunggu kegiatan pertama di kampus, Salman tak pulang ke Sedanau. Ia memilih menetap di RUSUNAWA di dekat kampus fakultas kedokteran, yang sudah disiapkan. Berada di lantai dua, pada awalnya dia tinggal sendiri. Namun, seminggu sebelum mulai program pengenalan kampus, ia mendapatkan teman sekamar, Gilang. Ia seorang mahasiswa bertubuh tambun, yang masuk ke fakultas kedokteran melalui jalur ikatan dinas atau beasiswa PEMDA Kabupaten Kapuas Hulu.

Salman cukup lama terpaku, memandangi Tugu Digulis berwarna kuning cerah. Sekumpulan replika bambu runcing dalam ukuran raksasa itu tegak berdiri dalam sebuah taman berbentuk lingkaran. Bangunan bersejarah itu memancing semua orang yang melewatinya, di perempatan jalan protokol yang disebut kawasan Bundaran UNTAN. Letaknya di Kota Pontianak bagian selatan.  Terasa mimpi bagi Salman bisa menginjakkan kaki di kota ini. Sendiri, tanpa orang tua, ataupun saudara. Yang ia pahami, hanya orang kaya dan pintar saja yang bisa menjadi mahasiswa kedokteran. Meski demikian, semangatnya tak luntur. Ia sudah siap menghadapi kegiatan pertama di UNTAN, pengenalan dunia kampus besok hari selama tiga hari.

Salman memegang tiga kantong plastik yang berisi perlengkapan yang harus dibawanya besok pagi ke kampus. Ia menenteng semua itu dengan terengah-engah, sambil meninggalkan kawasan Tugu Digulis dengan berjalan kaki menuju rumah susun mahasiswa sewa (RUSUNAWA). 

“Aneh-aneh saja permintaan senior. Mahal lagi!” gumamnya sore itu menjelang Maghrib.

Sesampainya di RUSUN, dia mengecek kembali isi kantong-kantong itu yang akan dimodifikasinya sesuai permintaan panitia. Tali rafia, kardus, karton Manila, spidol, karung gandum, botol air mineral AQUAIR, biskuit Supermint, wafer TUNGGU, dan pulpen hitam. Semua lengkap.

“Udah lengkap semua punyamu, Salman?” tanya Gilang, teman seangkatan dan juga teman sekamarnya.

“Alhamdulilah, Gilang. Letih juga berjalan tadi, nih. Semoga bisa kita selesaikan sebelum tengah malam.”

“Semoga,” tanggap Gilang.

Dengan kecepatan penuh, sepasang mahasiswa baru kedokteran itu membuat benda-benda kreatif yang tak pernah mereka lakukan sebelumnya. Yang cukup sulit dibuat adalah tas dari karung gandum. Mencetak namanya dengan pewarna, lalu dilanjutkan dengan memasang tali karet yang elastis sehingga tas bisa dibuka dan ditutup dengan mudah. Mereka sempatkan makan malam dengan mie instan yang gurih. Papan nama berbahan kardus, yang bertuliskan nama latin istilah kedokteran di bagian depan dan nama asli di bagian belakang menjadi properti terakhir yang mereka buat.

“Alhamdulillah, akhirnya selesai kerjaan kita, Gilang,” ujar Salman. Napasnya menderu, lalu berbaring sebentar di ranjangnya, dua tingkat.

“Iya, alhamdulillah, Salman. Tapi sudah jam satu malam!” ungkap Gilang.

“Saatnya kita tidur, yuk! Mudah-mudahan kita bisa terbangun jam lima! Pasang alarm kuat-kuat!” ajak Salman

Lihat selengkapnya