RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #16

NUNDUK! NUNDUK!

Pukul dua siang, setelah berbaris di lapangan yang membuat kulit cerahnya menjadi sedikit legam, Salman dan mahasiswa lain peserta MEDIKA mendengarkan pengenalan kampus dari pimpinan Fakultas Kedokteran dan ketua BEM Fakultas. Profesor Tjokro, Dekan fakultas mengawali pertemuan itu sebagai pembicara pertama. Salam keselamatan beliau haturkan sebagai pembuka dan disambut jawaban keselamatan pula.

“Adek-adek yang berbahagia, selamat datang di Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura Pontianak. Anda semua adalah manusia-manusia pilihan. Tak semua orang bisa masuk ke fakultas ini jika tanpa disertai dengan usaha-usaha yang panjang dan mendebarkan untuk menembusnya. Apalagi mahasiswa kedokteran, untuk menjadi seorang mahasiswa saja tidak semua orang bisa beruntung, karena persentase alumni SMA yang bisa melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di seluruh Indonesia tak sampai 3 persen dari total usia sekolah itu. Jadi, banyak-banyaklah bersyukur karena Anda bisa berada di sini.”

Mendengar pidato Pak Dekan, Salman merasa pidato tersebut mengena sekali ke dalam hatinya. Meski bekas sinar matahari masih terasa membakar kulitnya, Salman tak patah semangat,

“Panas ini belum seberapa,” gumamnya. 

“Dan, sebagai mahasiswa kedokteran, dengan cara apapun Anda lolos seleksi asalkan itu cara yang baik harus mensyukuri ini pula. Jumlah dokter di Indonesia masih sangat kurang. Satu dokter menaungi sekitar 3000 penduduk di Indonesia. Jauh sekali rasionya dibanding negara-negara tetangga kita. Jadi Anda akan menjadi wakil Tuhan menjadi penyembuh bagi orang-orang yang membutuhkan pertolongan di dunia ini.”

Salman tambah bersemangat mendengarnya. Menambah keteguhan hatinya untuk tetap menyelesaikan apa yang sudah diraihnya.

“Apalagi bagi Anda yang berasal dari Kalimantan Barat dan dari daerah-daerah pedalaman. Anda adalah duta dari daerah Anda masing-masing untuk nantinya memperbaiki sistem kesehatan di sana. Jadi, tetap semangat belajar. Jangan kecewakan pihak-pihak yang telah mendukung Anda.”

Salman masih dengan seksama mendengarkan, meski tertunduk dengan topi capingnya.

“Hal lain adalah, Fakultan Kedokteran UNTAN baru berdiri 3 tahun yang lalu. Namun demikian, Anda tidak boleh takut nanti salah suntik ke pasien, atau pasien menjadi cepat mati saat Anda tangani seperti yang mungkin Anda pernah dengar selentingan itu. Kita harus optimis FK UNTAN bisa maju karena sejak awal berdiri hingga beberapa tahun ke depan fakultas kita akan diampu atau dibimbing langsung oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, FKUI Jakarta, salah satu fakultas kedokteran terbaik di Indonesia dan Asia saat ini,” ungkap Prof Tjokro berapi-api.

Sontak pernyataan beliau disambut sorak sorai Salman dan teman-temannya, sambil mereka melambai-lambaikan bendera hijau. Salman merasa sangat beruntung, bahkan lebih beruntung dari Abrar, yang tak bisa hadir di sampingnya. Teman sekelasnya di Sedanau itu harus berpetualang lebih jauh ke fakultas kedokteran lainnya di Padang, dan harus merogoh kocek lebih dalam, bahkan sangat dalam, untuk memuluskan rencananya dan orangtuanya untuk menjadi seorang dokter. Ia merasa selangkah lebih maju dari Abrar.

“Dan dosen-dosen dari FKUI telah memberikan testimoni kepada senior-senior kalian, bahwa mahasiswa UNTAN tidak kalah cerdasnya dengan mahasiswa FKUI!”

Sorak kata HORE kembali bergemuruh dan diiringi tepuk tangan Salman dan teman-temannya.

“Terakhir, anak-anakku sekalian. Menjadi dokter itu passion dan pengabdian. Jadi, singkirkan dulu motivasi lain seperti motivasi mendapatkan uang yang banyak, atau motivasi-motivasi lain yang akan merusak kemuliaan profesi kita. Kalau mau jadi orang kaya dan banyak uang, jangan jadi dokter. Jadilah pengusaha,” jelas beliau sambil tersenyum.

“Semoga Anda bisa membahagiakan orang tua dan orang terdekat yang Anda cintai, dengan belajar yang baik dan mendapatkan gelar dokter tepat waktu,” pungkasnya, dan diakhiri dengan salam keselamatan.

Semua bertepuk tangan setelah mendengarkan pidato Dekan yang menggugah dan berapi-api sehingga membakar semangat para mahasiswa. Tak terkecuali Salman yang matanya menyorot tajam ke arah Profesor Tjokro. Sosok ideal dan idaman ada di hadapannya. Namun, Salman menahan haru dengan tiba-tiba terngiang-ngiang nasihat mendiang ayahnya dan Hamidah.

“Jika kamu berhasil lolos seleksi, jadilah dokter yang baik dan melayani umat,” pesan Ayahnya, suatu ketika saat Salman sempat berdebat panjang tentang cita-citanya satu-satunya itu.

Lihat selengkapnya