Salman dan empat orang teman sekelasnya di Fakultas Kedokteran Angkatan 2008 masih menanti sosok yang sangat penting. Mereka duduk di ruang tunggu dekanat, di atas sofa yang sangat empuk. Mereka dipanggil untuk pertama kalinya bertemu dengan beliau. Mengingat masih mahasiswa baru, wajah mereka tampak tegang, termasuk Salman. Meski kegiatan MEDIKA sudah seminggu berlalu, sebagai mahasiswa baru, merasa paling rendah kastanya di fakultas. Sesekali mereka merunduk ketika ada petugas yang datang mencari para pejabat untuk konsultasi pekerjaan mereka. Dan, melemparkan senyum yang tipis ketika ada dosen, yang belum semuanya mereka kenal, menyambangi ruang demi ruang yang dibutuhkan.
“Nungguin siapa, Dek?” tanya seorang dosen ramah kepada mereka yang tampak tegang.
“Prof Tjokro, Pak,” jawab Salman, yang mengenakan jaket almamater UNTAN berwarna biru tua.
“Ohh, Pak Dekan? Kalian ada perlu apa?”
“Kami dipanggil untuk konsultasi pertama sebagai mahasiswa PA beliau, Pak.”
“OK. Selamat menunggu, ya. Semoga Prof tidak terlalu sibuk hari ini,” pungkas dosen itu.
Salman menunggu dengan sabar. Juga harap-harap cemas. Meskipun sudah mendengarkan pidato beliau yang berapi-api, tetap saja ia khawatir tentang sosok lelaki itu.
Ramah? Helpful? Atau malah killer?
Profesor Tjokro, seorang dosen asal FKUI. Ditempatkan langsung oleh Rektor UI dan Dekan FKUI untuk menduduki jabatan sebagai pimpinan tertinggi di Fakultas Kedokteran UNTAN sejak pertama kali beroperasi pada tahun 2005. Sebagai hasil kesepakatan bersama, yang menjadikan FKUI sebagai pengampu FK UNTAN selama beberapa tahun ke depan sampai berhasil meluluskan dokter. Salman merasa terhormat menjadi mahasiswa bimbingan akademik beliau. Keempat orang temannya juga merasakan hal yang sama. Tapi, Salman juga masih ragu apakah beliau yang supersibuk masih bisa menerima mereka kapan pun diperlukan.
Salman mengerling ke arah jam tangannya. Pukul dua siang, satu jam terlewat dari waktu yang profesor jadwalkan. Suasana di ruang tunggu dekanat mulai lengang dan hening. Sejuk. Sesekali terasa hembusan angin dari sebuah pendingin udara yang menyentuh tubuh Salman. Berbeda sekali dengan kondisi di luar gedung beberapa jam sebelumnya dirasakan mahasiswa tingkat satu itu. Maklum, Salman baru empat bulan berada di kota Pontianak, yang terletak persis di garis khatulistiwa. Paling dekat dengan posisi matahari dalam beberapa minggu ke depan. Keluar rumah tanpa pelindung kulit yang cukup, beberapa jam kemudian kulit akan menjadi legam, atau belang-belang. Keringat pun bercucuran dengan mudahnya.
Panas bedengkang!
Hanya beberapa orang staf yang tampak mondar-mandir di ruang dekanat. Sibuk dengan pekerjaan mereka. Salman merasa asing berada di situ, di tempat para pejabat fakultas bekerja. Derap langkah seseorang yang mengetuk-ngetuk lantai dengan sepatu pantofel kemudian terdengar. Memecah keheningan siang yang mulai membuat Salman mengantuk. Mendengar itu, Salman dan temannya terkesiap. Bergegas mereka duduk dalam posisi tegak dan siap sedia. Sebagai hasil training MEDIKA minggu lalu.
“Assalamualaikum,” sapa lelaki itu dengan suaranya yang berat dan berwibawa.
“Waalaikumsalam, Prof,” jawab mereka serentak. Masih dalam posisi duduk tegak.
“Ayo, masuk ke ruang saya sekarang, ya.”
Profesor Tjokro mendahului mereka. Satu per satu mereka memasuki ruangan Dekan yang tak kalah sejuk. Segan terasa di dalam jiwa mereka. Ada meja kerja beliau di ruangan itu yang cukup besar. Dan ada meja persegipanjang dengan enam buah kursi sebagai tempat menerima tamu termasuk mahasiswa.
“Ayo, duduk. Pilih kursi kalian. Jangan takut sama saya. Saya nggak gigit, kok,” ujar Profesor dengan logat Jawa-nya yang kental.
Dengan mengenakan kemeja panjang bermotif corak insang khas Pontianak berwarna kuning kehijauan, beliau pun duduk di bagian ujung di dekat jendela. Pelan-pelan mahasiswa itu pun duduk. Satu persatu mereka mengucapkan terima kasih. Ketegangan dan rasa segan Salman mulai berkurang.
“OK, kita kenalan dulu, ya. Mohon maaf saya baru bisa ketemu Anda hari Rabu hari ini, meski kegiatan perkuliahan sudah dimulai Senin kemarin. Gimana? Sehat semua setelah dibentak-bentak di MEDIKA?” tanya Profesor sambil tersenyum ramah.
Semua menjawab dengan hamdalah. Sejak hari Minggu sebelumnya dan bertemu jasad yang terbujur kaku di rumah sakit, Salman bisa tidur nyenyak setiap malam. Di Asrama Fakultas Kedokteran UNTAN yang bersih dan cukup luas, untuk tinggal berdua dengan teman seangkatannya, Gilang. Tinggal di tempat itu gratis tanpa berbayar sepeser pun. Asal harus dapat menjaga kebersihan dan ketenangan. Fasilitas pun cukup lengkap disediakan pihak universitas termasuk dapur dan tempat laundry. Hanya saja, tidak ada jaringan wifi.
“Sambil kita berkenalan lebih lanjut dan berdiskusi tentang pendidikan kedokteran kalian nantinya, silahkan mencicipi makanan ini, ya,” ungkap Profesor menunjuk ke bagian tengah meja.