Salman sangat menikmati kuliahnya di Semester Satu. Satu per satu modul dan ujiannya dia lewati dengan mulus. Sebagian besar mata kuliah rumpun sosial humaniora yang disebut Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU). Nilai akhir mata kuliah Pendidikan Agama Islam, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Ilmu Sosial Budaya Dasar, Bahasa Inggris, Manusia dan Lingkungan Hidup, dan Problem Based Learning, semuanya A. Tinggal satu modul terakhir di semester ganjil itu, modul Modul Bioetika dan Profesionalisme Kedokteran yang sedang ia jalani.
"Primum non nocere. First, do no harm," jelas Bu dokter Farhana, saat memberikan kuliah Kaidah Dasar Bioetika di modul tersebut.
"Ada yang tahu maksudnya?" tanya beliau, yang beberapa bulan sebelumnya baru lulus dari magister S2 di bidang bioetika di Universitas Gajah Mada.
"Seorang dokter jangan melakukan kejahatan," jawab Raisa.
"Hhmmm... Betul. Tetapi ada yang lebih baik bisa menjelaskan? Ayo jangan takut salah," tambah dosen bersuara sopran namun lembut itu.
"Saya, Dok." Salman mengangkat tangannya. Farhanaa mempersilahkan.
"Saya Salman, Dok. Mohon ijin menjawab. Ungkapan primum non nocere itu maksudnya pada saat menangani pasien nanti, kita sebagai seorang dokter tidak boleh memperburuk kondisi pasien."
"Ya, betul sekali, Salman. Anda baca dimana?"
"Saya baca di buku, Dok."
"Good, kasih tepuk tangan untuk Raisa dan Salman."
Riuh rendah tepuk tangan teman-teman seangkatannya bergema di ruang kelas A13 yang besar itu. Lantainya berundak-undak seperti ruang teater yang setiap undakan memuat sepuluh buah kursi kuliah. Salman yang duduk di baris tengah pun senang dan tersenyum simpul. Farhana lalu mengajak berdiskusi tentang pengalaman ketemu dokter dan materi lainnya.
"Baik, saya lanjutkan sedikit ya. Jadi Kaidah Dasar Bioetika yang memuat empat prinsip dasar menjadi dasar kita nanti sebagai dokter untuk menjalankan praktek kedokteran kita. Dan ini berlaku di seluruh dunia. Beneficence, Nonmaleficence, Autonomy, and Justice."
Salman antusias sekali, apalagi setelah dipuji oleh Bu Farhana, di depan delapan puluh orang teman seangkatannya. Materi yang disampaikan oleh dokter Farhana sangat sesuai dengan bahan ajar yang dia baca di perpustakaan fakultas, sehari sebelumnya. Siang itu saat jadwal istirahat dia manfaatkan untuk membaca buku teks tentang materi yang akan disampaikan dokter Farhana.
Salman tak mengira, dunia kedokteran banyak sekali membahas tentang etika, komunikasi, dan hubungan antar manusia. Ilmu kedokteran tak hanya berkutat kepada ilmu-ilmu rumit dan renik tentang sel dan biologi molekular, tetapi juga hingga aspek-aspek sosial tersebut. Dokter Farhana kemudian melanjutkan kuliah keduanya tentang Profesionalisme Kedokteran.
“Salman, keren jawabanmu. Selamat ya,” bisik Raisa satu kursi di belakang Salman.
“Makasih, Raisa,” balas Salman dengan senyuman.
Dalam kuliah tentang Profesionalisme Kedokteran itu, terungkap dari Bu Farhana, dan membuka mata Salman, bahwa profesi dokter berada dalam posisi yang sulit seperti saat ini. Jika tidak profesional, maka dokter akan sangat mudah dituntut oleh para pasien yang tidak puas dengan pelayanan kesehatan.
“Siapa suruh jadi dokter!” canda Farhana sambil tertawa.
Salman terperanjat mendengar pernyataan Farhana, dan mengiyakan di dalam hatinya. Sulit sekali menjadi dokter di era keterbukaan informasi seperti ini. Dokter akan mudah disanjung dan mudah pula dijatuhkan melalui pemberitaan media.
Beliau melanjutkan, bahwa masalah malpraktek yang mungkin sering mereka dengar di media massa ada kaitan erat dengan unsur profesionalisme. Unsur itu sederhana, tetapi mematikan.
“Kira-kira apa penyebab terbesar pasien mengajukan tuntunan kepada dokter?”
“Kelalaian medik, Dok!” teriak Gilang dari kursi belakang.
“Hhmmm, betul sekali. Tetapi, ada satu lagi aspek yang terpenting. Apakah itu?” tanya Farhana lebih memancing.