“Salman, bagaimana kabarmu, Nak?” tanya Nuraini di ujung sambungan telepon.
“Salman baik, Mak.” Kerinduan Salman terhadap Nuraini terasa sangat saat menjawab telepon itu.
“Udah kau salat Isya?”
“Sudah tadi, Mak. Di masjid dekat asrama. Tapi Salman sendirian. Gilang kesakitan panggulnya.”
“Oohh, semoga cepat sembuh ya, Gilang. Jadi kau ujian modul besok?”
“Jadi, Mak. Jam delapan pagi. Mohon doanya Emak selalu, ya. Modulnya sulit, Mak.
“Insya Allah, kau bisa melewatinya. Emak selalu berdoa. Amalkan terus doa kelapangan, Al Insyirah. Dan doa pelindung, Al Matsurat,” ucap Nuraini lirih.
Salman sibuk menerima telepon dari ibunya, sambil membaca-baca buku catatannya dan buku teks tebal yang berserakan di meja belajar dan di lantai kamar. Buku-buku asli berbahasa Inggris itu ia pinjam dari perpustakaan fakultas. Ada juga fotokopian dan e-book yang tersimpan di laptop. Buku-buku sakti bagi mahasiswa kedokteran tak ketinggalan ia koleksi, meski dengan meminjam dan sebagian dengan membeli, seperti Bloom and Fawcett A Textbook of Histology, Silverthorn Human physiology: an integrated approach, Netter's Concise Neuroanatomy, Murray RK Harper’s illustrated Biochemistry, Robbin’s Pathologic Basis of Diseases, dan Katzung Basic and Clinical Pharmacology. Sementara di laptopnya tersimpan juga beberapa judul e-book buku teks yang menjadi rujukan sepanjang pendidikannya.
“Emak, sakit ke? Lemah betul kedengarannya?”
“Sakit ringan, jak. Tadi pagi sempat ke PUSKESMAS, diberi obat penambah darah?”
“Emak anemia?”
“Kata dokter yang periksa memang begitu. Tapi istirahat dulu, jak, katanya. Kalau sebulan tak ada perbaikan, baru dirujuk ke Ranai.”
“Mudah-mudahan Mak cepat sehat, ya. Tak tenang Salman kalau dengar Mak sakit,” ungkap Salman. Konsetrasi belajarnya mulai terdistraksi.
Gilang sudah tidur lebih dulu. Salman pun keluar kamar, lalu melanjutkan berbicara di lorong dan berpegangan di handle besi balkon di depan kamarnya. Sekelilingnya remang-remang. Sesekali cahaya lampu menerobos dari balik pepohonan yang tertiup angina, disertai hujan ringan.
“Tapi, apa kata dokter, Mak?”
“Belum ketahuan penyakitnya. Cuma Emak merasa terus lemah dan lesu. Kadang-kadang pun tak nafsu makan.” Salman mulai gelisah dan resah.
“Oh iya, lah. Mudah-mudahan bulan depan segera ketahuan sakit Emak,” harap Salman.
“Lebaran tahun ini kau balek tak?”
“Insya Allah, Mak. Kabarnya semester ganjil nanti ada lebaran dua minggu.”
“Alhamdulillah. Dah rindu Emak ni dengan kau. Tak senang rasanya semenjak Ayah kau tak ada,” ungkap Nuraini lirih. Lalu di terisak.
“Maaak. Udahlah. Usah nak pikirkan macam-macam. Nanti Salman bise bawa Emak ke Ranai. Periksa ke dokter sana, ya.”
“Baeklah, Nak.”
Nuraini merindu berat putra sulungnya. Lebaran masih dua setengah bulan, tetapi wajah Salman selalu ada di dalam doa-doanya di penghujung malam.
Salman menutup sambungan telepon. Tetapi, tuts telepon seluler berwarna hitam kembali ditekan-tekannya. Mencari nama HAMIDAH di daftar kontak. Hamidah menjawab panggilannya dengan nada lemah karena mulai mengantuk. Tetapi langsung segar begitu mendengar suara Salman.
“Besok Abang ujian akhir modul terakhir semester genap. Doakan berhasil ya, Midah.”
“Insya Allah, Bang.”
“Tolong liatkan juga Emakku kalau kau sempat, Midah. Emak lagi sakit.”