RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #21

RAHASIA EMAK

Salman sudah menyiapkan oleh-oleh pakaian dan pernaok-pernik lebaran terbaik. Untuk Emak, Bukhari, Dayah, Pak Darwis, dan tentunya Hamidah. Ia membungkus dengan rapi sebuah kerudung persegi empat. Dibungkusnya dengan plastik bening bermotif hati berwarna merah muda. Untuk Nuraini, dia menyiapkan baju gamis putih berenda-renda. Salman sangat berbahagia, membayangkan kedua orang yang sangat dicintainya, menerima oleh-oleh, dari hasil keringat sendiri.

Senin siang selepas Zuhur, yang menyengat, Salman tiba di Pelabuhan Penagi di Ranai. Setelah kurang lebih 24 jam berada di atas Kapal Mitra Bahari, dari Pelabuhan Seng Hie. Kapal khusus ekspedisi itu membawanya dalam kondisi kapal yang penuh dan padat dengan barang. Salman sempat istirahat dan tidur di kamar awak kapal yang sempit dan apek. Sesekali tercium bau amis yang menggangu tidurnya. Di dalam kamar juga berantakan, penuh dengan kardus-kardus berbungkus plastik. Dia tidur di atas kasur tipis beralaskan sprei lusuh, bersisian dengan kasur salah satu kasur awak kapal. Biaya perjalanan itu seharga lima puluh ribu yang ia setorkan ke salah satu awak, tanpa tiket.

            Salman menjinjing dua buah tas besar yang berat, dan sebuah ransel yang tersandang di punggung, keluar dari kapal. Lalu bergegas menuju mobil tumpangan menuju Sinjai. Kemudian berlanjut menaiki ferry ke Sedanau. Sepanjang perjalanan hatinya berbunga-bunga. Senyumnya mengembang. Sudah tak sabar merasakan lebaran di Sedanau Senin depan, yang tahun lalu ia lewatkan. Tak sabar memeluk anggota keluarganya, serta menemui Hamidah. Ini kesempatan Salman bertemu kekasihnya. Walau awalnya cukup kecewa karena Hamidah diterima di Program Studi Keperawatan di Universitas Andalas, ia tak terlalu bersusah hati. Apalagi Hamidah bisa pulang lebaran tahun ini.

           “Assalamulaikum, Mak. Dayah. Bubu,” ucap Salman tersenyum saat tiba di depan rumahnya. Bergegas ia masuk.

           “Bang Salmaaaan!!” sambut Dayah dan Bukhari serentak.  

           “Alhamdulillah. Kau puase tak, Bu?” tanya Salman, lalu mencubit-cubit kedua pipi adik bungsunya. “Tambah besar kau ye. Kau juga, Dayah. Tambah tinggi.”

           “Puase lah, Bang. Kan sudah SMP sekarang,” jawab Bukhari.

           “Alhamdulillah. Mak mane?”

           “Mak, tidur di kamar, Bang. Lemas katenye. Udah saya bilang tak udah puase dulu, tapi Mak masih kuat katenye,” jawab Dayah.

           Salman segera menemui Nuraini yang terbaring di kamar.

           “Maak.”

Pandangan Salman tajam ke wajah Nuraini. Sumringah, Mereka bertatapan penuh makna. Antara ibu dan anak yang sudah setahun lebih tak bersua.

“Salman. Apa kabar kau, Nak?”

Salman lalu mencium tangan Nuraini. Erat dan lama. Tulus. Nuraini langsung membelai-belai rambut putranya. Setulus-tulusnya. Sama-sama melepas rindu yang teramat sangat. Nuraini bangkit, dan duduk di sisi dipan.  

“Salman baek, Mak.”

“Tapi kau lebih kurus, ya? Tapi, kau pun tampak lebih tampan.” Nuraini memegang kedua pipi Salman, lalu memegang lengan dan tangannya. Salman tertawa. Tersenyum indah, memperlihatkan gigi-giginya yang rapih dan bersih.

“Tidak, Mak. Mungkin Salman tampak lelah, jak. Emak masih sakit kah?” tanya Salman, dengan raut yang tiba-tiba cemas.

“Tidak pula. Yang kemarin pas Emak nelpon kau, jak. Sekarang mungkin terbawa hawa puasa. Jadi, lemah rasanya.”

“Tapi, Emak susah makan ke? Emak lebih kurus sepertinya.”

Naluri Salman sebagai mahasiswa kedokteran mulai bekerja. Meski baru semester 3, dia sudah bisa menganalisis kondisi tubuh ibu dan adik-adiknya.

“Tidak pula. Biase-biase jak, nih rasanya.”

“Ayoklah kite keluar kamar, Mak. Salman bawakan oleh-oleh dari Pontianak.”

“Baeklah.”

Lihat selengkapnya