RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #22

LEBARAN SURAM

Rebana dipukul bertalu-talu. Gema takbir mulai menggema selepas Isya. Bersahut-sahutan dari corong pengeras suara, tiga masjid di sekitar Sedanau bagian timur. Sejak tiga hari sebelumnya suasana Ramadhan sudah berpadu dengan atmosfir lebaran Syawal. Pinggir jalanan Sedanau sisi kiri maupun kanan, terpancang kayu-kayu untuk meletakkan lampu-lampu berwarna kuning. Jembatan yang menghubungkan daratan dan rumah Salman dan sekitarnya pun tampak indah. Di sisi kanan dan kiri jempatan terpaku buluh-buluh pendek berisi minyak tanah dengan sumbu yang memancarkan sulutan api. Lentera, berkilauan dan menambah syahdu awal malam satu Syawal. Sesekali api suluh itu berkibar-kibar kencang diterpa angin laut.

           Salman dan kedua adiknya sibuk menganyam ketupat segiempat dari daun pelepah kelapa. Tangan mereka berdua sangat terampil, sehingga tak perlu waktu lama bagi mereka menyelesaikan 20 untai ketupat yang sudah terisi beras. Nuraini dan Dayah perlahan-lahan merebus ketupat itu di sebuah wajan raksasa. Sambil menunggu matang, mereka menyiapkan lauk, sayuran, bumbu, dan sambal sebagai pendamping memakan ketopat besok setelah Salat Ied.

           “Tak terase, besok dah raye ye, Mak. Lebaran kita, Bubu,” ujar Salman.

           “Alhamdulillah. Semoga amal ibadah kita selama Ramadhan ini diterima oleh Allah SWT, ya, anak-anak Emak.”

           “Amiin.” Serentak mereka bertiga menjawab.

           “Sejuk dingin Ayah kau di dalam kubur kalau dengar takbir ni.”

           “Semoga Ayah bahagia ye, Mak.”

           Nuraini dan Salman merasakan kekurangan satu orang yang sangat mereka cintai. Sosok suami dan ayah yang selalu memberikan kabar gembira setiap malam satu Syawal. Tak pernah absen membelikan semua anggota keluarga dengan baju baru. Walaupun uang beliau sangat terbatas. Kini peran Tarmizi mulai digantikan Salman. Membuat Nuraini bangga dan terharu. Salman bertumbuh dewasa.

           Setelah menunaikan salat Ied di Mesjid Agung An-Nur yang berjarak 1 kilometer lebih dari rumah mereka, Nuraini langsung mengajak anak-anaknya mengunjungi Pak Darwis yang rumahnya tak jauh dari masjid.

“Pak Long sehat, kah?” tanya Salman penuh riang, sambil mencium tangan Darwis penuh takzim.

“Alhamdulillah, sehat semua kami serumah. Cepat lah kau jadi dokter, Salman. Supaye kite tetap sehat semua ni. Aku dengar Mak kau sakit minggu-minggu lalu?”

“Iye, Bang. Keputihan biase jak kate dokter di PUSKESMAS. Tapi disuruh kontrol lagi tiga atau enam bulan ke depan.”

“Ohh, syukurlah kalau begitu. Kau jangan sungkan nak minta tolong aku, Nuraini.”

“Baek, Bang.” 

Silaturahim usai, mereka kembali ke rumah untuk menikmati ketupat yang sudah matang. Ketupat beras matang lalu dipotong menjadi dua bagian besar, kemudian dibelah lagi menjadi potongan-potongan kecil yang siap masuk ke mulut. Sajian itu lalu disiram dengan kuah sayur bersantan, rendang daging, dan serondeng yang membuat kremes dan gurih rasanya. Sekeluarga menikmati sekali hidangan khas lebaran di tanah Melayu.

Salman kemudian sekeluarga menuju rumah Hamidah. Disambut dengan wajah yang cerah, oleh Hamidah, dan ibundanya. Ayah Hamidah tiba-tiba wajahnya berubah. Dari sumringah menjadi datar, tanpa ekspresi. Mereka saling bersalam-salaman dan mengucapkan selamat lebaran, serta bermaaf-maafan. Salman mencium tangan kanan ayah Hamidah, namun segera ditarik oleh ayah Hamidah.

Ibu Hamidah mempersilahkan Nuraini dan anak-anaknya untuk mencicipi hidangan di atas meja. Ragam kue lapis Melayu dan kue kering terhidang. Menggugah selera.

 

***

           Setanau bagaikan sebuah kepingan surga di ufuk utara Nusantara. Pulau tak berpenghuni itu terletak di tenggara Pulau Natuna. Sangat indah dan eksotik. Pantainya berpasir putih dan bersih. Airnya sekitar pulau sangat jernih, sehingga terumbu karang dan ikan-ikan jelas terlihat dari atas pompong yang membawa Salman dan Hamidah. Ikan-ikan berenang di samping, mengikuti lajunya pompong yang bergerak, dan menghasilkan riak gelombang berwarna putih. Salman dan Hamidah sumringah. Begitu pula teman-teman SMA-nya yang ikut serta.

           Mendekati daratan pulau, Hamidah takjub. Air terlihar jernih sempurna. Tak sabar dia ingin menyebur, meski pompong belum terparkir.

           Byurrrr!

 

***

Salman dan Hamidah mengabadikan foto mereka berdua sedang bertelungkup di atas pasir. Di belakang mereka, terpampang indah lautan dan tebing-tebing berwarna hitam keabu-abuan, pesisir timur pulau besar Natuna. Foto mereka berhias beberapa kerang sebesar kepalan tangan orang dewasa, bintang laut berwarna biru, dan sebuah kayu lapuk berwarna kecoklatan.

           “Cantek sekali, nih fotonya, Hamidah,” ujar Salman.

           “Luar biasa indah,” pungkas Hamidah.

Lihat selengkapnya