RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #23

SEBUAH PERJALANAN

Memasuki Semester tiga dan empat, Salman mulai mengalami kesulitan belajar karena materi modul yang sulit dan banyak seperti Modul Tumbuh Kembang. Nilai-nilainya juga standar, tetapi tidak semua A. Selama berada di tingkat dua itu pula, usaha Salman dalam penjualan pulsa dan paket internet 3G laris manis. Cukup untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Tentu saja uang kiriman ibunya, 500.000 per bulan, sangat pas-pasan. Sehingga tak jarang, terutama di akhir bulan, Salman puasa Senin dan Kamis, demi menghemat, dan bisa tetap makan hingga kiriman uang berikutnya masuk ke rekeningnya. 

"Salman, nanti sore kita rapat ya," pinta Deva, seniornya di kepengurusan BEM.

Salman baru saja menyelesaikan Praktikum Histologi Ginjal, dalam Modul Ginjal dan Cairan Tubuh, di akhir Semester 4.

"Siap, Bang," balasnya.

Salman harus mengatur waktunya dengan baik sebagai pengurus BEM dan UKM Rohani Islam, FSI Ibnu Sina. Minggu depan, dia akan menjalani ujian akhir modul Ginjal, yang sangat menentukan. Jangan sampai nilai akhir modul menjadi D atau E, karena tak pandai mengatur antara kegiatan akademik dan organisasi. Jika nilainya D, maka wajib mengulang modul tersebut di semester genap tahun depan.Tidak ada semester pendek.  

Memasuki semester lima, Salman mulai resah. Uang bulanan yang biasa dikirim Ibundanya mulai tak lancar, karena Nuraini mulai sakit-sakitan yang bertambah berat. Untuk menambah penghasilan bulanan, Salman tergiur dengan penawaran bekerja sebagai agen properti yang menjual tanah kavlingan dan perumahan baru. Penghasilannya tak cukup untuk membiayai hidupnya hanya dengan mengandalkan hasil penjualan pulsa. Sejak saat itu penghasilannya lumayan besar. Bisa untuk membeli motor bekas, dan laptop baru pengganti laptop bututnya. 

Di akhir semester enam, Salman menunggu di ruang Profesor Tjokro dengan berdebar-debar. Semakin lama semakin kencang. Profesor Tjokro pasti marah besar.

"Salman, apa yang terjadi pada dirimu? Sampai-sampai nilai dua modul, modul Saraf Jiwa dan Metabolik Endokrin, bisa dua-duanya D? Kamu tahu kan konsekuensinya?"

Salman tertunduk. Tak kuasa menatap wajah Profesor yang seakan memarahinya. 

"Maafkan saya, Prof. Saya salah. Saya tak bisa mengatur waktu dengan baik."

"Saya dengar kamu bekerja sambilan, ya?"

"Iya, Prof. Di perusahaan properti. Tapi hanya sebagai agen lepas. Bukan di kantor."

Profesor Tjokro menepuk jidatnya.

"Astaghfirullah, Salmaaaan! Kenapa kamu nggak ngasih tahu saya jauh-jauh hari. Saya ini kan dosen PA-mu. Siapa tahu saya bisa carikan jalan keluar, dengan tidak mengganggu akademikmu."

"Maaf, Prof. Maafkan saya." Salman kembali tertegun.

"Oke, mulai sekarang fokus belajar untuk semester depan dan mengulang modul yang tertinggal supaya tidak dapat D lagi! Malu saya!" pinta Profesor Tjokro, kesal. 

"Siap, Prof." Salman kembali tertunduk. 

Sebuah SMS tiba-tiba masuk, dari Hamidah.

"Bang bagaimana hasil UAS-nya? Nilai abang bagus? Jangan lupa salat dan makan yang banyak ya, Bang."

"Terima kasih, Midah. Nilai Abang bagus-bagus ????"


***

“Jadi kite nak kemane ni?” tanya Salman penasaran kepada Gilang. 

Gilang menaiki motor dengan pelan-pelan. Pinggangnya masih sedikit nyeri walau sudah meminum pain killer. Sejak semester dua, tak ada perubahan signifikan tentang keluhannya. Nyeri, dan berjalan menjadi tertatih-tatih.

 "Kau santai-santai, jak, Man, duduk di belakang. InsyaAllah hari ini makan sedap kite," jawab Gilang sambil membonceng Salman dengan motornya.

Lihat selengkapnya