RESILIENSI

Asroruddin Zoechni
Chapter #24

BUKAN SITTI NURBAYA

 Pukul delapan pagi, Salman, Gilang, Raisa, dan Hamidah, sudah bercokol di depan Tugu Khatulistiwa. Mereka saling berboncengan menaiki sepeda motor. Tugu itu, adalah bangunan menjulang, ikonik Kota Pontianak yang terletak persis di titik nol derajat garis lintang. Mereka pun mengabadikan indah itu.

           “Ade satu hal yang kalian perlu tahu tentang tugu ini,” ujar Raisa.

           “Ape die?” tanya Salman.

           “Pas bulan September setiap tanggal 23, tidak ada bayangan benda sedikitpun ketika matahari pas di tengah-tengah kepala kita.”

           Semua terpaku mendengarkan penjelasan Raisa.

           “Lalu, kalau mau foto di dalam, sile lah. Tapi kalau berpasangan, kalian bise berfoto di depan tugunya yang di dalam. Satu di sisi utara bumi, dan satu di sisi selatan bumi. Seru kan?” tambah Raisa.

           “Wah, betul kah? Pasti seru ye, Kak?” tanya Hamidah.

           “Pasti. Yuklah kita masuk!”

           Mereka berempat segera memasuki rumah kecil yang di dalamnya terdapat bangunan tugu khatulistiwa. Bangunan itu berbentuk tiang panjang yang menjulang berjumlah empat buah yang bersisian, berlanjut hingga ke luar kubah. Mereka juga mencoba berfoto sesuai yang diinstruksikan Raisa tentang bagian utara dan selatan. Semua tampak bahagia.

           “Eh, tapi ada mitos yang aku pernah dengar nih!” ujar Gilang berapi-api.

           “Ape die, Boy?” tanya Salman.

           “Kalau kate orang dulu-dulu. Sebetulnya yang lagi jatuh cinta macam Hamidah dan Salman nih, tak boleh berfoto macam tadi. Satu di sisi selatan, satu di sisi utara.” Gilang menyampaikan dengan bersemangat, tetapi terdengar menyeramkan bagi Salman.

           Raut muka Salman dan Hamidah seketika berubah. Mereka cemas.

           “Kau jangan bohong, Boy. Betul ke tidak tuh? Jangan-jangan Cuma mitos,” sergah Salman.

           “Eh, namenye mitos Salman. Percaya tak percaya, lah. Jadiii, hati-hati jak kalian berdua nanti. Bise-bise kalian terpisah bagai kutub utara da kutub selatan. Hiiiii…” Salman menakut-nakuti.

           Hamidah masih terdiam, tak berani berkata apapun. Raisa dan Gilang tertawa di dalam hati.

           “Kenape kau baru bilang sekarang, Gilang. Kalau aku tau begitu, tak lah kami berdua ni berfoto macam tadi. Kau pun satu Raisa, tak lengkap ilmu sejarah kau.”

           “Eh, sori, lah. Aku pun tak bermaksud macam tu,” jawab Raisa.

           “Sudahlah, Salman. Anggap jak itu mitos semata. Tak perlu dirisaukan. Yang penting kan hati kalian saling menyatu walau berjauhan nanti,” ungkap Gilang.

           Semua tertawa gelak. Tugu khatulistiwa yang berdiri megah menjadi saksi persahabatan mereka, dan juga saksi cinta suci Salman dan Hamidah.

           Seminggu setelah sidang skiprisi, dalam acara judicium akhir semester 7, Salman dan Gilang dinyatakan berhak meneruskan pendidikan kedokteran ke jenjang profesi atau kepaniteraan klinik, selama 96 minggu ke depan. 


***

      Hamidah merasa kedatangannya ke Pontianak sangatlah tidak sia-sia. Ia berangkat secara diam-diam, tanpa sepengetahuan orang tua, dan Abrar, lelaki yang mulai mengganggu kehidupannya selama di Padang. Sejak ‘drama’ penyelamatan pompong mogok di Setanau dua tahun yang lalu, kehidupan Hamidah seperti ada yang memata-matai. Tentu saja tindakan ‘spionase” itu bukan melalui tangan Abrar sendiri, tetapi melalui teman-teman kampusnya di Program Studi Ilmu Keperawatan, yang bergabung di bawah Fakultas Kedokteran.

           Hamidah nekat berangkat ke Pontianak meski cuma beberapa hari. Karena selain tak kuasa menahan rindu, ia juga ingin melihat langsung sosok Salman, calon imamnya kelak, yang sudah lama tak bersua. Melihat langsung Salman, yang ternyata posturnya tak terlalu banyak berubah, kurus dan tinggi, tetapi sedikit lebih berisi. Salman pun sangat bahagia melihat langsung melihat Hamidah, saat kerinduan yang menyeruak di tengah kelelahan jiwa dan raga dalam menyelesaikan tahap demi tahap pendidikannya.

           Kehadiran Hamidah di depan ruang sidang skripsi tentu bagi Salman bukan hal yang spesial, namun sangat spesial di saat waktu yang tepat, malah bukan saat wisuda Sarjana yang terkenal sakral. Apalagi perayaan yang bisa disajikan Salman pun sangat sederhana, namun penuh makna bagi Hamidah. Setelah menyambangi Tugu Khatulistiwa hingga siang hari, Hamidah kemudian dibawa mengitari sudut-sudut Kota Pontianak yang unik. Bagi Hamidah, pemandangan kota yang bernuansa Melayu dan Chinese, tak ubahnya Sedanau dan Natuna. Namun, nuansa Dayak yang sangat terasa saat mereka berkunjung ke Rumah Adat Dayat Betang membuat Hamidah cukup takjub, terutama setelah mengetahui filosofi suku proto-Melayu itu. 

           Hamidah tak merasa ada yang membuntuti saat tiba di terminal kedatangan Bandara Internasional Minangkabau. Perjalanan udaranya cukup panjang, setelah dari Bandar Supadio di Pontianak, transit dua jam di Hang Nadim, Batam, kemudian ke Padang. Langkahnya santai, tanpa clingak-clinguk, walau di hati kecilnya khawatir jika tiba-tiba ada Abrar atau teman-teman Abrar, memasang ‘kamera pengintai’, lalu menepuk pundaknya. Ranselnya pun cukup penuh, berisi oleh-oleh khas Pontianak. Dan tentu saja, cendera mata spesial dari Salman. Hati Hamidah tambah berbunga-bunga karena Salman memberinya gelang sederhana yang dianyam dengan motif khas Dayak berwarna-warni cerah.

“Pakai saja di tangan kirimu, Midah,” pinta Salman, saat menutup jalan-jalan mereka, di toko suvenir di belakang Stadion Kebun Sajoek, Jalan Pattimura.

Hamidah sangat menyambut baik permintaan Salman, dan menggelangkan sendiri gelang murah meriah itu.

“Motif macam ini sangat unik. Tak ade dimana pun, termasuk di Padang,” tambah Salman.

Hamidah mengangguk, dengan senyum kebahagiaan melalui matanya yang berbinar.

Memasuki lobi kedatangan, mata Hamidah tertuju kepada deretan taksi bandara yang parkir menunggu penumpang.

“Ke daerah Jati, UNAND, berapa, Bang?” tanya Hamidah ke salah satu sopir taksi.

“100 ribu, Dek.”

“Wah, mahal sekali, Bang?”

“Jauh, Dek. Kalau mau murah, kamu jalan kaki saja sana.”

Ugghh segitunya, si Abang.

Hamidah beranjak ke pemilik taksi lainnya yang berdekatan, menanyakan hal yang sama. Ada juga taksi Blue Bird, tapi Hamidah mengira uangnya pasti tak cukup.

“120 ribu, Dek.”

“Loh, kok tambah mahal, Bang?”

“Mahal, Dek. Taksi minivan nih, bukan sedan.”

Hamidah merengut. Menarik diri dari kawasan mangkal taksi tersebut. Lalu berpikir keras, mencari cara untuk pulang ke kamar kosnya. Dia lalu duduk di bangku terminal kedatangan. Uang di dompetnya tak cukup untuk membayar taksi. Dia sadar, uang bulanannya sudah habis untuk biaya perjalanan, meski dengan pesawat termurah, low cost carrier. Memasuki semester lima, memang uang bulanan Hamidah dari ayahnya mulai surut. Kadang-kadang pun tak tak tepat waktu pada awal bulan. Untungnya Hamidah masih punya tabungan sejak semester satu dulu, saat uang bulanannya mengalir deras bagai air. Tetapi semenjak semester empat, ayahnya mengalami kesulitan ekonomi. Usaha Ayahnya di Pasar Sedanau terimbas kebakaran hebat di dekat pasar ikan. Jadilah, ayahnya harus berhutang ke sana sini demi menyelamatkan usaha yang sudah berlangsung puluhan tahun.

           Hamidah mencoba menghubungi teman-teman yang bisa membantunya. Mencoba meminjam uang, lalu ditransfer ke rekeningnya. Tapi tak satupun yang bisa dihubungi. 

“Gimana kalau naik bus DAMRI, saja, ya? Walaupun menunggu agak lama, sih,” gumamnya dalam hati.

Menaiki bus DAMRI adalah cara cukup murah untuk bisa keluar bandara. Hamidah pun beranjak, mendekati counter tiket DAMRI.

“Hamidah!” teriak seseorang dari dalam mobil di jalur drop-off penumpang pesawat.

“Hamidah menoleh ke arah suara.” Lelaki yang sangat dikenalnya melambai-lambaikan tangan dari kursi pengemudi.

Hamidah bergeming. Ia kembali menghadap counter DAMRI. Kedua tangannya gemetar pelan, lalu semakin kencang, diiringi denyut jantung yang memacu. Ia segera mengambil uang dari dompet berwarna pink, dan mengambil beberapa lembar uang sepuluh ribuan. Segera ia tuntaskan pembayaran tiket bus.

“Kenapa pulak ada Bang Abrar di sini!” Hamidah bergumam, sambil cemberut, dan kesal.

“Hamidah!” Suara Abrar semakin dekat terdengar. Abrar secepat kilat memarkir mobilnya dan mendekati Hamidah.

“Hamidah!” Suara Abrar meninggi. “Ikut Abang saja sekarang! Kasihan uangmu nanti habis!”

“Tak ape, Bang! Biar saye naik bis saja!” ucap Hamidah tegas. Hamidah menunduk, sambil terus berjalan menuju ruang tunggu bus, yang akan berangkat 30 menit lagi.

Lihat selengkapnya